Thursday, March 22, 2018

MAKALAH ONTOLOGI




A.    Pendahuluan
Filsafat pada dasarnya merupakan metode berpikir atau cara memandang segala yang ada secara mendalam dan menyeluruh. Harun Nasution menyatakan bahwa filsafat adalah berfikir menurut tata tertib (logis) dengan bebas (tak terikat tradisi, dogma atau agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan.[1] Dari pernyataan Harun Nasution tersebut, terdapat kata kunci yang perlu untuk digarisbawahi yakni logis dan bebas. Agar tidak terjebak pada persepsi yang salah maka penulis di sini akan menjabarkan maksud dari istilah logis dan bebas di sini. Logis artinya dapat diterima akal dan benar menurut penalaran.[2] Sedangkan bebas artinya memandang sesuatu secara menyeluruh dan apa adanya tanpa terikat tradisi, dogma dan agama. Karena tujuan dari filsafat pada dasarnya adalah mendapatkan kenyataan secara utuh dan menyeluruh. Oleh karena itu dalam berfilsafat tidak boleh ada batasan agar gambaran yang didapat tidak setengah setengah.
Filsafat merupakan sarana untuk meraih kebijaksanaan atau pengetahuan yang utuh. Menurut Harold H. Titus, filsafat adalah suatu usaha memahami alam semesta, maknanya dan nilainya. Apabila tujuan ilmu adalah kontrol, dan tujuan seni adalah kreativitas, kesempurnaan, bentuk keindahan komunikasi dan ekspresi, maka tujuan filsafat adalah pengertian dan kebijaksanaan (understanding and wisdom).[3] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebijaksanaan adalah kepandaian menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya) serta kecakapan bertindak apabila menghadapi kesulitan dan sebagainya.[4] Dengan kebijaksanaan, manusia dapat mengontrol perilakunya. Perilaku manusia yang terkontrol dapat mencegah atau setidaknya meminimalisir dampak negatif atau resiko yang tidak diinginkan. Kebijaksanaan sangat diperlukan dalam menghadapi kesulitan, karena untuk mendapatkan solusi yang tepat sasaran dari suatu problem dibutuhkan sikap yang bijaksana.
Tujuan utama dari filsafat sebagaimana telah diuraikan di atas adalah pengertian dan kebijaksanaan. Untuk meraih sutau tujuan maka hal yang paling penting dan harus dilakukan adalah mempelajarinya. Tujuan utama dari mempelajari sesuatu adalah agar mendapatkan asumsi yang benar, karena kesalahan suatu asumsi, akan melahirkan teori, metodologi keilmuan yang salah pula.[5] Kesalahan berasumsi seringkali menimbulkan kesalahan dalam bertindak, karena segala bentuk perilakau manusia berasal dari asumsi yang diyakininya.
Salah satu cabang filsafat yang membahas mengenai hakikat segala yang ada disebut dengan istilah ontologi. Adapun tujuan utama penulis mengkaji ontologi adalah agar mendapatkan pengetahuan tentang metode yang benar dan sistematis dalam merumaskan deskripsi dan hakikat dari segala sesuatu supaya mendapatkan asumsi yang benar tentang sesuatu yang dipelajari sehingga mampu bersikap secara benar pula.

B.     Definisi Ontologi
Ontologi adalah istilah yang diadobsi dari bahasa Yunani. Ontologi pada dasarnya berasal dari dua kata yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud (being) dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada alam, dan ada kausa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan. Ontologi dapat pula diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Obyek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau pancaindera. Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman inderawi. Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata.[6]
Ontologi merupakan salah satu dari tiga kajian Filasafat Ilmu yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Beberapa tokoh Yunani yang memiliki pemikiran yang bersifat ontologis adalah Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masa Yunani ketika mithology masih memiliki pengaruh yang kuat, kebanyakan orang belum mampu membedakan antara penampakan dengan kenyataan. Bahkan pada masa tersebut ada banyak hal yang masih mengkaji kejadian alam dalam bentuk mistis sebagai penanggung jawab dari fenomena alam yang sulit untuk dimengerti. Ontologi juga dapat diartikan sebagai keberadaan (The theory of being qua being) atau Ilmu tentang yang ada.[7]
Ontologi juga sering diidentikkan dengan metafisika, yang juga disebut dengan proto-filsafat atau filsafat yang pertama atau filsafat ketuhanan. Pembahasannya meliputi hakikat sesuatu, keesaan, persekutuan, sebab dan akibat, substansi dan aksiden, yang tetap dan yang berubah, eksistensi dan esensi, keniscayaan dan kerelatifan, kemungkinan dan ketidakmungkinan, realita, malaikat, pahala, surga, neraka dan dosa.[8]
Menurut Pandangan The Liang Gie Ontologi adalah bagian dari filsafat dasar yang mengungkap makna dari sebuah eksistensi yang pembahasannya meliputi persoalan-persoalan.[9]
Menurut Suriasumantri ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau, dengan kata lain suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Telaah ontologis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan ; a) apakah obyek ilmu yang akan ditelaah, b) bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut dan c) bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti    berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.[10]
Menurut Soetriono Menurut Soetriono bahwa definisi mengenai ontologi merupakan asas dalam menerapkan batas atau mengenai ruang lingkup suatu wujud yang menjadi objek dari penelaahan (objek ontologi atau obyek formal dari pengetahuan) serta mengenai penafsiran mengenai hakikat realita (metafisika) dari objek ontologi atau objek formal tersebut dan merupakan landasan dari ilmu yang menanyakan terkait apa yang dikaji atau dibahas dalam suatu pengetahuan dan biasanya berkaitan terhadap alam kenyataan dan keberadaan.[11]
Menurut Ensiklopedia Britannica Ontologi adalah teori atau studi tentang being atau wujud misalnya karakteristik dasar terhadap suatu realitas. Ontologi persamaan dari metafisika yakni, studi filosofis untuk menentukan sifat nyata yang asli (real nature) terhadap suatu benda dalam menentukan suatu arti, struktur dan juga prinsip benda tersebut.[12]
Benang merah dari beragam pengertian tentang ontologi di atas menegaskan bahwa tujuan utama dari kajian ontologi adalah untuk mendapatkan gambaran utuh dan menyeluruh tentang suatu benda atau obyek. Gambaran tersebut meliputi makna, struktur dan karakteristik.

C.    Pandangan Ontologi dalam Berbagai Aliran Filsafat.
1.      Monisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri.[13]  Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran yakni Idealisme dan Materialisme.
a.      Materialisme
Aliran materialisme digolongkan menjadi bagian monisme karena pandangannya sama-sama bertitik tolak dari satu dasar pandangan.[14] Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan ruhani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta.[15]
Aliran pemikiran ini  dipelopori oleh bapak filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Ia berpendapat bahwa unsur asal adalah air, karena pentingnya bagi kehidupan. Anaximander (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara, dengan alasan bahwa udara merupakan sumber dari segala kehidupan. Demokritos (460-370 SM) berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat halus. Atom-atom itulah yang merupakan asal kejadian alam.[16]
b.      Idealisme
Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.[10] Aliran ini menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu yang tidak tampak. Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru terletak dibalik yang fisik. Ia berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya merupakan bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu. Eksistensi benda fisik akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang pada kebenaran sejati.[17] Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui dalam ajaran Plato (428-348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di dalam mesti ada idenya yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi, idelah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.[18]
2.      Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan spirit. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (rohani) dan dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de la Methode (1637) dan Meditations de Prima Philosophia (1641). Dalam bukunya ini pula, Ia menerangkan metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes (metode keraguan Descartes/Cartesian Doubt). Disamping Descartes, ada juga Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm von Leibniz (1646-1716 M).[19]
3.      Pluralisme
Aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara
Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M). kelahiran New York dan terkenal sebagai seorang psikolog dan filosof Amerika. Dalam bukunya The Meaning of Truth James mengemukakan, tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena dalam praktiknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tiada kebenaran yang mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran, yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman yang khusus, yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya. Kenyataan terdiri dari banyak kawasan yang berdiri sendiri. Dunia bukanlah suatu universum, melainkan suatu multi-versum. Dunia adalah suatu. yang terdiri dari banyak hal yang beraneka ragam atau pluralis.[20]
4.      Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev pada tahun 1862 di Rusia. Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Gorgias (485-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatupun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain. Tokoh lain aliran ini adalah Friedrich Nietzche (1844-1900 M). Dalam pandangannya dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Mata manusia tidak lagi diarahkan pada suatu dunia di belakang atau di atas dunia di mana ia hidup.[21]
5.      Agnostisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata agnostisisme berasal dari bahasa Grik Agnostos, yang berarti unknown. A artinya not, gno artinya know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Soren Kierkegaar (1813-1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme, yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu orang lain. Berbeda dengan pendapat Martin Heidegger (1889-1976 M), yang mengatakan bahwa satu-satunya yang ada itu ialah manusia, karena hanya manusialah yang dapat memahami dirinya sendiri. Tokoh lainnya adalah, Jean Paul Sartre (1905-1980 M), yang mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal. Hakikat beradanya manusia bukan entre (ada), melainkan aentre (akan atau sedang). Jadi, agnostisisme adalah paham pengingkaran/penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda, baik materi maupun ruhani.[22]

D.    Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik. Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori. Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan. Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik.[23]
Contoh pembuktian apriori :
Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana (Tt-P)
Badan itu sesuatu yang lahiri              (S-Tt)
Jadi, badan itu fana’                            (S-P)
Contoh pembuktian aposterioris :
Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus       (Tt-S)
Gigi geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan     (Tt-P)
Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan           (S-P)

E.     Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas tentang ontologi maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada alam, dan ada kausa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan.
2.      Aliran filsafat tentang ontologi ada lima yaitu monisme, dualisme, nihilisme, pluralisme dan agnostisisme.
3.      Metode dalam ontologi dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik.



[1] https://rifkaputrika.wordpress.com/2013/03/29/iad/
[2] http://www.pengertianmenurutparaahli.net/pengertian-logis-dan-contohnya/
[3] http://kuliahfilsafat.blogspot.co.id/2009/04/tujuan-fungsi-dan-manfaat-filsafat.html
[4] https://kbbi.web.id/bijaksana
[5] http://risnadewi12.blogspot.co.id/2013/02/ontologi.html
[6] https://www.tongkronganislami.net/contoh-makalah-ontologi-filsafat-ilmu/
[7] https://kajianbudayablog.wordpress.com/2016/12/03/analisis-filsafat-ilmu-ontologi-epistemologi-aksiologi-dan-logika-ilmu-pengetahuan/
[8] https://zainabzilullah.wordpress.com/2013/01/20/ontologi-epistemologi-dan-aksiologi-sebagai-landasan-penelaahan-ilmu/comment-page-1/
[9] http://blogushuluddin.blogspot.co.id/2016/04/filsafat-ilmu-ontologi.html
[10] http://ayundaleni.blogspot.co.id/2016/12/makalah-filsafat-ilmu-ontologi.html
[11] http://www.contohnaskahdrama.com/2017/08/pengertian-ontologi-menurut-para-ahli.html
[12] http://www.gurupembelajar.co.id/2017/08/pengertian-ontologi-sejarah-aliran.html
[13] http://irwanteasosial.blogspot.co.id/2015/02/aliran-aliran-dalam-ontologi.html
[14] https://nawaaufateknodikunnes.wordpress.com/2012/06/05/aliran-filsafat-materialisme-dalam-aspek-ontologi-epistemologiaksiologi/
[15] Sunarto. Pemikiran tentang Kefilsafatan Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset. 1983. hlm. 70.
[16] Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1996. hlm. 64.
[17] Cecep Sumarna. Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2006. hlm. 48.
[18] Harun Nasution. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang. 1982. hlm. 53.
[19] Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007. hlm. 142.
[20] http://rangerwhite09-artikel.blogspot.co.id/2010/04/ontologi-dalam-ilmu-filsafat.html
[21] http://nitanurrachmawatiatmasari.blogspot.co.id/2010/11/ontologi-dalam-filsafat-ilmu.html
[22] http://harisreinald3.blogspot.co.id/2013/03/ontologi.html
[23] http://kecoaxus.tripod.com/filsafat/pengfil.htm
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

silahkan berkomentar asal sopan