Friday, March 23, 2018

KONDISI JAZIRAH ARAB SEBELUM ISLAM




Menurut bahasa, kata Arab berarti padang pasir; tanah gundul dan gersang yang tiada air dan tanamannya. Sebutan dengan istilah ini sudah diberikan sejak dahulu kepada Jazirah Arab, sebagaimana sebutan yang diberikan kepada suatu kaum yang disesuaikan dengan dareah tertentu, lalu mereka menjadikannya sebagai tempat tinggal.[1]
Jazirah Arab merupakan suatu daerah berupa pulau yang berada  di antara benua Asia dan Afrika, seolah–olah  daerah Arab itu sebagai hati bumi (dunia). Sebelah Barat daerah Arab di batasi oleh laut Merah, sebelah timur di batasi oleh teluk Persia  dan laut Oman atau sungai-sungai Dajlah (Tigris) dan Furat (Euphrat). Sebelah Selatan di batasi oleh laut Hindia dan sebelah utara oleh Sahara Tiih (lautan pasir yang ada di antara negeri Syam dan sungai Furat). Itulah sebabnya daerah Arab itu terkenal sebagai pulau dan dinamakan Jaziratul-Arabiah.[2]
Keadaan  tanah di Jazirah Arab sebagian besar terdiri  dari  Padang Pasir tandus, bukit dan batu, terutama bagian tengah. Sedang bagian  selatan  atau bagian pesisir pada umumnya tanahnya cukup  subur. Untuk wilayah bagian Tengah terbagi pada :
1.      Sahara Langit, memanjang 140 mil dari utara ke selatan dan 180 mil dari timur ke barat, disebut juga Sahara Nufud. Oase dan mata air sangat jarang, tiupan angin seringkali menimbulkan kabut debu yang mengakibatkan daerah ini sukar ditempuh.
2.      Sahara Selatan, yang membentang menyambung Sahara Langit ke arah timur sampai selatan Persia. Hampir seluruhnya merupakan dataran keras, tandus, dan pasir bergelombang. Daerah ini juga disebut dengan Ar-Rub’ Al-Khali (bagian yang sepi).
3.      Sahara Harrat,suatu daerah yang terdiri atas tanah Hat yang berbatu hitam bagaikan terbakar. Gugusan batu-batu hitam itu menyebar di keluasan Sahara ini, seluruhnya mencapai 29 buah.[3]
Kondisi alam/tanah di sebagian besar Jazirah Arab Kering dan tandus, kalaupun ada air hanyalah  Oase  atau mata air. Hal ini menyebabkan penduduknya suka berpindah-pindah  (Nomaden) dari satu wilayah ke wilayah lain, oleh para ahli mereka disebut suku Badui. Suku Badui umumnya bekerja menggembalakan kambing dan binatang ternak lainnya.
Sementara wilayah bagian pesisir terdiri wilayah pesisir Laut Merah, Samudera Hindia dan Teluk Persi, sehingga kondisi tanahnya sangat subur.[4] Adapun daerah pesisir, bila dibandingkan dengan Sahara sangat kecil, bagaikan selembar pita yang mengelilingi Jazirah. Penduduk sudah hidup menetap dengan mata pencaharian bertani dan berniaga. Oleh karena itu, mereka sempat membina berbagai macam budaya, bahkan kerajaan.

A.    Kondisi Sosial Jazirah Arab Pra Islam
Penduduk Jazirah Arab pada masa pra Islam dibagi menjadi kelompok besar yakni penduduk kota (Hadhari) dan penduduk gurun (Badui). Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa penduduk kota bertempat tinggal secara menetap. Mereka sudah mengenal tata cara mengelola tanah pertanian dan mengenal tata cara perdagangan. Bahkan hubungan perdagangan mereka telah mencapai luar negeri. Hal ini menunjukkan bahwa peradaban mereka sudah maju.
Penduduk gurun (Badui) memiliki gaya hidup yang jauh berbeda dari penduduk kota tersebut. Masyarakat Badui hidup secara nomaden guna mencari air dan padang rumput untuk binatang ternak mereka. Masyarakat badui memiliki kebiasaan mengendarai unta, mengembala domba dan keledai, berburu dan menyerang musuh. Hal itu dilakukan karena mereka belum mengenal perdagangan dan pertanian.[5] Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan, sehingga kesetiaan dan solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi kabilah dan suku. Kondisi iklim gurun yang panas sangat mempengaruhi kondisi mental masyarakat badui. Oleh karena itu masyarakat badui memiliki watak mudah marah. Hal itu seringkali memicu peperangan antar suku. Sikap ini nampaknya sudah mendarah daging dalam diri penduduk Arab. Dalam budaya bangsa arab yang suka berperang, derajat wanita menjadi sangat rendah. Situasi seperti ini berlangsung sampai Islam lahir. Akibat peperangan yang melanda bangsa Arab secara terus menerus maka kebudayaan mereka menjadi tidak berkembang.[6]

B.     Kondisi Politik Jazirah Arab Para Islam
Kondisi Bangsa Arab di wilayah pesisir (pemukim) berbeda jauh dengan bangsa Arab Badui (gurun). Peradaban masyarakat Arab di wilayah pesisir berkembang sangat pesat. Mereka selalu mengalami perubahan sesuai situasi dan kondisi yang mengitarinya. Mereka mampu membuat alat-alat dari besi, bahkan mendirikan kerajaan-kerajaan. Wilayah yang mereka diami dikenal dengan wilayah perniagaan karena memang pada saat itu wilayah mereka menjadi bagian dari jalur perniagaan yang menghubungkan antara syam dan samudra hindia.
Bangsa Arab yang pernah mendirikan kerajaan adalah golongan Qahthaniyun. Kerajaan yang pernah didirikan golongan Qahthaniyun bernama saba’ dan himyar di Yaman, bagian selatan Jazirah Arab.
Adapun wilayah yang ditempati oleh masyarakat badui sama sekali tidak pernah dijajah oleh bangsa lain, baik karena daerahnya sulit dijangkau maupun karena tandus dan miskin. Wilayah tersebut salah satunya adalah hijaz, kota terpenting dari wilayah ini adalah Makkah karena di sana terdapat bangunan suci bernama Ka’bah. Ka’bah tidak hanya disucikan dan diziarahi oleh penganut agama asli Makkah saja melainkan juga di sucikan dan diziarahi oleh penganut agama Yahudi yang bermukim di sekitarnya.
Penduduk pedalaman Jazirah Arab hidup dengan tradisi kesukuan. Peraturan yang berlaku di antara mereka saat itu adalah peraturan suku. Suku-suku di Arab terdiri dari kelompok/gabungan dari orang banyak yang diikat oleh kesatuan darah(nasab) dan kesatuan kelompok. Dalam ikatan hubungan ini berkembanglah hukum ada yang mengatur hubungan antara individu dengan kelompok, atas dasar solidaritas antara mereka dalam hak dan kewajiban. Hukum adat ini menjadi pedoman suku dalam peraturan politik dan sosial.
Adapun pemimpin suku yang dicalonkan untuk kepemimpinan dipilih dari kedudukan dalam sukunya, perilaku dan karakteristiknya. Seorang kepala suku memiliki hak-hak moral dan material. Hak moral yang paling penting adalah dimuliakan, dihormati, ditaati perintahnya serta peratiran dan keputusannya disetujui. Hak material ialah Hak untuk mendapat kan ¼ dari harta ghanimah (harta rampasan perang) untuk dirinya sendiri sebelum ghanimah dibagi. Peraturan suku di dalamnya berlaku kebebasan. Orang Arab telah tumbuh dalam suasana dan lingkungan yang bebas. Karena itu, kebebasan merupakan karakteristik yang lebih spesifik dari orang Arab dan mereka menyukainya. Mereka menolak ketidakpuasan dan penghinaan. Dan setiap individu dalam satu suku berjuang untuk sukunya, serta memperkuat kebanggaannya dan hari-hari besarnya. Mereka senantiasa berjuang untuk menolong masing-masing anggota sukunya, tanpa peduli dia benar atau salah. Prinsip mereka adalah “Tolonglah saudaramu yang zalim atau yang dizalimi”. Dan individu di dalam suku adalah pengikut bagi kelompok. Rasa bangga mereka terhadap pendapat kelompok itu telah berlebihan hingga kadang kepribadiannya melebur dalam kepribadian kelompoknya. Setiap suku dari suku-suku Arab memiliki karakter politiknya masing-masing. Dengan karakter itu terjalin persekutuan dengan suku-suku lain. Dan dengan karakter itu juga, perang diarahkan kepadanya. Mungkin persekutuan paling terkenal yang terjalin antara suku-suku Arab adalah persukutuan Al-Fudhul (persekutuan orang-orang penyemangat). Peperangan antara suku sangat sering terjadi di bangsa Arab, terkadang penyebabnya adalah masalah pribadi, kadang tuntunan kebutuhan hidup. Sebab salah satu mata pencarian mereka terdapat di pedang mereka.[7]

C.    Karakteristik Bangsa Arab Pra Islam  
Perangai suatu masyarakat pada dasarnya terpengaruh oleh keadaan lingkungan yang didiami. Begitu pula bangsa arab pada zaman sebelum Islam yang terpengaruh dengan iklim jazirah arab yang panas dan tandus. Iklim tersebut membentuk watak bangsa arab yang cenderung tempramen atau mudah naik darah. Selain itu karena bangsa Arab belum mengenal ajaran Islam maka perangainya jauh dari kata beradab. Berikut ini adalah watak bangsa arab yang umum pada masa pra Islam:
1.      Menyebah berhala, dewa malaikat,jin,roh dan benda-benda langit seperti bulan,dan bintang.
2.      Suka bermain judi
3.      Hidup boros dan suka berfoya-foya.
4.      Percaya pada takhayul dan hantu.
5.      Mengubur hidup-hidup bayi perempuan.
6.      Merendahkan derajat wanita.
Selain memiliki watak tercela, bangsa Arab pra islam juga memiliki watak terpuji antara lain :
1.      Dermawan
2.      Suka menepati janji
3.      Memiliki tekad yang kuad
4.      Menjaga harga diri
5.      Teguh pendirian
6.      Dapat dipercaya[8]
Itulah gambaran kondisi geografis, sosial dan politik bangsa Arab pada zaman pra Islam. Peradaban bangsa Arab yang mendiami wilayah gurun yang tandus sebelum Islam sulit berkembang akibat seringnya terjadi peperangan antar suku.


[1]https://khazanahilmublog.wordpress.com/artikel-spesial/sirah-nabawiyah/letak-geografis-arab-kondisi-penduduknya/bagian-1/
[2] http://ukonpurkonudin.blogspot.co.id/2011/08/jazirah-arab.html
[3] http://kurniadwisari.blogspot.co.id/2015/06/normal-0-false-false-false-en-us-ko-x.html
[4] https://siti-nurjanah.weebly.com/arab-pra-islam.html
[5] http://dunia-sejarahku.blogspot.co.id/2017/08/ keadaan-sosial-dan-budaya-bangsa-arab.html
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hlm : 11.
[7] https://remaja-muslim.com/2017/09/21/kondisi-politik-bangsa-arab/
[8] http://rainidini.blogspot.co.id/2010/04/sifat-dan-watak-masyarakat-arab.html
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

silahkan berkomentar asal sopan