Menurut bahasa, kata Arab berarti padang pasir;
tanah gundul dan gersang yang tiada air dan tanamannya. Sebutan dengan istilah
ini sudah diberikan sejak dahulu kepada Jazirah Arab, sebagaimana sebutan yang
diberikan kepada suatu kaum yang disesuaikan dengan dareah tertentu, lalu
mereka menjadikannya sebagai tempat tinggal.[1]
Jazirah Arab merupakan suatu daerah berupa pulau
yang berada di antara benua Asia dan
Afrika, seolah–olah daerah Arab itu
sebagai hati bumi (dunia). Sebelah Barat daerah Arab di batasi oleh laut Merah,
sebelah timur di batasi oleh teluk Persia
dan laut Oman atau sungai-sungai Dajlah (Tigris) dan Furat (Euphrat).
Sebelah Selatan di batasi oleh laut Hindia dan sebelah utara oleh Sahara Tiih
(lautan pasir yang ada di antara negeri Syam dan sungai Furat). Itulah sebabnya
daerah Arab itu terkenal sebagai pulau dan dinamakan Jaziratul-Arabiah.[2]
Keadaan
tanah di Jazirah Arab sebagian besar terdiri dari
Padang Pasir tandus, bukit dan batu, terutama bagian tengah. Sedang
bagian selatan atau bagian pesisir pada umumnya tanahnya
cukup subur. Untuk wilayah bagian Tengah
terbagi pada :
1.
Sahara Langit, memanjang 140 mil dari utara ke
selatan dan 180 mil dari timur ke barat, disebut juga Sahara Nufud. Oase dan mata
air sangat jarang, tiupan angin seringkali menimbulkan kabut debu yang
mengakibatkan daerah ini sukar ditempuh.
2.
Sahara Selatan, yang membentang menyambung Sahara
Langit ke arah timur sampai selatan Persia. Hampir seluruhnya merupakan dataran
keras, tandus, dan pasir bergelombang. Daerah ini juga disebut dengan Ar-Rub’
Al-Khali (bagian yang sepi).
3.
Sahara Harrat,suatu daerah yang terdiri atas tanah
Hat yang berbatu hitam bagaikan terbakar. Gugusan batu-batu hitam itu menyebar
di keluasan Sahara ini, seluruhnya mencapai 29 buah.[3]
Kondisi alam/tanah di sebagian besar Jazirah Arab Kering
dan tandus, kalaupun ada air hanyalah
Oase atau mata air. Hal ini
menyebabkan penduduknya suka berpindah-pindah
(Nomaden) dari satu wilayah ke wilayah lain, oleh para ahli mereka
disebut suku Badui. Suku Badui umumnya bekerja menggembalakan kambing dan
binatang ternak lainnya.
Sementara wilayah bagian pesisir terdiri wilayah
pesisir Laut Merah, Samudera Hindia dan Teluk Persi, sehingga kondisi tanahnya sangat
subur.[4] Adapun daerah pesisir,
bila dibandingkan dengan Sahara sangat kecil, bagaikan selembar pita yang
mengelilingi Jazirah. Penduduk sudah hidup menetap dengan mata pencaharian
bertani dan berniaga. Oleh karena itu, mereka sempat membina berbagai macam
budaya, bahkan kerajaan.
A.
Kondisi Sosial Jazirah Arab Pra Islam
Penduduk Jazirah Arab pada masa pra Islam dibagi
menjadi kelompok besar yakni penduduk kota (Hadhari) dan penduduk gurun
(Badui). Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa penduduk kota bertempat
tinggal secara menetap. Mereka sudah mengenal tata cara mengelola tanah
pertanian dan mengenal tata cara perdagangan. Bahkan hubungan perdagangan
mereka telah mencapai luar negeri. Hal ini menunjukkan bahwa peradaban mereka
sudah maju.
Penduduk gurun (Badui) memiliki gaya hidup yang
jauh berbeda dari penduduk kota tersebut. Masyarakat Badui hidup secara nomaden
guna mencari air dan padang rumput untuk binatang ternak mereka. Masyarakat
badui memiliki kebiasaan mengendarai unta, mengembala domba dan keledai,
berburu dan menyerang musuh. Hal itu dilakukan karena mereka belum mengenal
perdagangan dan pertanian.[5] Mereka sangat menekankan
hubungan kesukuan, sehingga kesetiaan dan solidaritas kelompok menjadi sumber
kekuatan bagi kabilah dan suku. Kondisi iklim gurun yang panas sangat
mempengaruhi kondisi mental masyarakat badui. Oleh karena itu masyarakat badui
memiliki watak mudah marah. Hal itu seringkali memicu peperangan antar suku. Sikap
ini nampaknya sudah mendarah daging dalam diri penduduk Arab. Dalam budaya
bangsa arab yang suka berperang, derajat wanita menjadi sangat rendah. Situasi seperti
ini berlangsung sampai Islam lahir. Akibat peperangan yang melanda bangsa Arab
secara terus menerus maka kebudayaan mereka menjadi tidak berkembang.[6]
B.
Kondisi Politik Jazirah Arab Para Islam
Kondisi Bangsa Arab di wilayah pesisir (pemukim)
berbeda jauh dengan bangsa Arab Badui (gurun). Peradaban masyarakat Arab di
wilayah pesisir berkembang sangat pesat. Mereka selalu mengalami perubahan
sesuai situasi dan kondisi yang mengitarinya. Mereka mampu membuat alat-alat
dari besi, bahkan mendirikan kerajaan-kerajaan. Wilayah yang mereka diami
dikenal dengan wilayah perniagaan karena memang pada saat itu wilayah mereka
menjadi bagian dari jalur perniagaan yang menghubungkan antara syam dan samudra
hindia.
Bangsa Arab yang pernah mendirikan kerajaan adalah
golongan Qahthaniyun. Kerajaan yang pernah didirikan golongan Qahthaniyun
bernama saba’ dan himyar di Yaman, bagian selatan Jazirah Arab.
Adapun wilayah yang ditempati oleh masyarakat
badui sama sekali tidak pernah dijajah oleh bangsa lain, baik karena daerahnya
sulit dijangkau maupun karena tandus dan miskin. Wilayah tersebut salah satunya
adalah hijaz, kota terpenting dari wilayah ini adalah Makkah karena di sana
terdapat bangunan suci bernama Ka’bah. Ka’bah tidak hanya disucikan dan
diziarahi oleh penganut agama asli Makkah saja melainkan juga di sucikan dan
diziarahi oleh penganut agama Yahudi yang bermukim di sekitarnya.
Penduduk pedalaman Jazirah Arab hidup dengan
tradisi kesukuan. Peraturan yang berlaku di antara mereka saat itu adalah
peraturan suku. Suku-suku di Arab terdiri dari kelompok/gabungan dari orang
banyak yang diikat oleh kesatuan darah(nasab) dan kesatuan kelompok. Dalam
ikatan hubungan ini berkembanglah hukum ada yang mengatur hubungan antara
individu dengan kelompok, atas dasar solidaritas antara mereka dalam hak dan
kewajiban. Hukum adat ini menjadi pedoman suku dalam peraturan politik dan
sosial.
Adapun pemimpin suku yang dicalonkan untuk
kepemimpinan dipilih dari kedudukan dalam sukunya, perilaku dan
karakteristiknya. Seorang kepala suku memiliki hak-hak moral dan material. Hak
moral yang paling penting adalah dimuliakan, dihormati, ditaati perintahnya
serta peratiran dan keputusannya disetujui. Hak material ialah Hak untuk
mendapat kan ¼ dari harta ghanimah (harta rampasan perang) untuk dirinya
sendiri sebelum ghanimah dibagi. Peraturan suku di dalamnya berlaku kebebasan.
Orang Arab telah tumbuh dalam suasana dan lingkungan yang bebas. Karena itu,
kebebasan merupakan karakteristik yang lebih spesifik dari orang Arab dan
mereka menyukainya. Mereka menolak ketidakpuasan dan penghinaan. Dan setiap
individu dalam satu suku berjuang untuk sukunya, serta memperkuat kebanggaannya
dan hari-hari besarnya. Mereka senantiasa berjuang untuk menolong masing-masing
anggota sukunya, tanpa peduli dia benar atau salah. Prinsip mereka adalah
“Tolonglah saudaramu yang zalim atau yang dizalimi”. Dan individu di dalam suku
adalah pengikut bagi kelompok. Rasa bangga mereka terhadap pendapat kelompok
itu telah berlebihan hingga kadang kepribadiannya melebur dalam kepribadian
kelompoknya. Setiap suku dari suku-suku Arab memiliki karakter politiknya
masing-masing. Dengan karakter itu terjalin persekutuan dengan suku-suku lain.
Dan dengan karakter itu juga, perang diarahkan kepadanya. Mungkin persekutuan
paling terkenal yang terjalin antara suku-suku Arab adalah persukutuan
Al-Fudhul (persekutuan orang-orang penyemangat). Peperangan antara suku sangat
sering terjadi di bangsa Arab, terkadang penyebabnya adalah masalah pribadi,
kadang tuntunan kebutuhan hidup. Sebab salah satu mata pencarian mereka
terdapat di pedang mereka.[7]
C.
Karakteristik Bangsa Arab Pra Islam
Perangai suatu masyarakat pada dasarnya
terpengaruh oleh keadaan lingkungan yang didiami. Begitu pula bangsa arab pada
zaman sebelum Islam yang terpengaruh dengan iklim jazirah arab yang panas dan
tandus. Iklim tersebut membentuk watak bangsa arab yang cenderung tempramen
atau mudah naik darah. Selain itu karena bangsa Arab belum mengenal ajaran
Islam maka perangainya jauh dari kata beradab. Berikut ini adalah watak bangsa
arab yang umum pada masa pra Islam:
1.
Menyebah berhala, dewa malaikat,jin,roh dan
benda-benda langit seperti bulan,dan bintang.
2.
Suka bermain judi
3.
Hidup boros dan suka berfoya-foya.
4.
Percaya pada takhayul dan hantu.
5.
Mengubur hidup-hidup bayi perempuan.
6.
Merendahkan derajat wanita.
Selain memiliki watak tercela, bangsa Arab pra
islam juga memiliki watak terpuji antara lain :
1.
Dermawan
2.
Suka menepati janji
3.
Memiliki tekad yang kuad
4.
Menjaga harga diri
5.
Teguh pendirian
6.
Dapat dipercaya[8]
Itulah gambaran kondisi geografis, sosial dan politik
bangsa Arab pada zaman pra Islam. Peradaban bangsa Arab yang mendiami wilayah
gurun yang tandus sebelum Islam sulit berkembang akibat seringnya terjadi
peperangan antar suku.
[1]https://khazanahilmublog.wordpress.com/artikel-spesial/sirah-nabawiyah/letak-geografis-arab-kondisi-penduduknya/bagian-1/
[2]
http://ukonpurkonudin.blogspot.co.id/2011/08/jazirah-arab.html
[3]
http://kurniadwisari.blogspot.co.id/2015/06/normal-0-false-false-false-en-us-ko-x.html
[4]
https://siti-nurjanah.weebly.com/arab-pra-islam.html
[5] http://dunia-sejarahku.blogspot.co.id/2017/08/
keadaan-sosial-dan-budaya-bangsa-arab.html
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam
Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hlm : 11.
[7] https://remaja-muslim.com/2017/09/21/kondisi-politik-bangsa-arab/
[8] http://rainidini.blogspot.co.id/2010/04/sifat-dan-watak-masyarakat-arab.html