Thursday, June 29, 2017

PANDUAN MENULIS LATAR BELAKANG MASALAH


Keterampilan menulis latar belakang masalah bagi seorang mahasiswa merupakan suatu keahlian yang wajib dimiliki. Karena dalam kegiatan perkuliahan mahasiswa mau tidak mau harus berhadapan dengan tugas untuk membuat tulisan ilmiah semisal makalah atau proposal penelitian.
Menulis latar belakang masalah pada dasarnya gampang-gampang susah. Artinya kelihatannya gampang padahal sulit atau sulit diawal dan akan menjadi gampang bila terbiasa. Oleh karena itu, seorang mahasiswa pemula harus mulai berlatih untuk menulis latar belakang masalah mulai dari semester awal dan rajin meminta bimbingan kepada kakak tingkat agar kelak ketika membuat skripsi atau tugas akhir menjadi mudah.
Penulisan latar belakang masalah tidak boleh dianggap sepele karena latar belakang masalah merupakan bagian penting dari sistematika penulisan ilmiah. Semua artikel atau tulisan ilmiah biasanya diawali dari latar belakang masalah. Adapun fungsi dari latar belakang masalah pada sebuah proposal maupun makalah adalah menjelaskan gambaran awal dari topik yang akan dibahas pada karya tulis yang akan dikerjakan. Dapat dikatakan sebagai ilustrasi awal terkait alasan perlunya mengangkat topik tersebut.[1]
Latar belakang masalah merupakan uraian hal-hal yang menyebabkan perlunya dilakukan penelitian terhadap sesuatu masalah atau problematika yang muncul dapat ditulis dalam bentuk uraian paparan, atau poin-poinnya saja.[2]
Uraian latar belakang masalah umumnya berisi tentang gejala-gejala kesenjangan yang terdapat dilapangan sebagai dasar pemikiran untuk memunculkan permasalahan dan bagaimana penelitian mengisi ketimpangan yang ada berkaitan dengan topik yang diteliti.[3]
Hal terpenting yang wajib diketahui oleh mahasiswa dalam penulisan latar belakang masalah adalah memahami prinsip prinsip dasar penulisan latar belakang masalah. Adapun prinsip-prinsip tersebut antara lain :
1.      Berisi tentang sekumpulan argumen yang memaparkan mengapa topik dan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini dirasa penting dan bermanfaat, baik secara teoritis maupun praktis.
2.      Setiap main idea harus dibangun dengan argumen yang jelas dari peneliti yang kemudian argumen itu dikuatkan dengan data pendukung dalam setiap poinnys. Dalam latar belakang masalah, peneliti juga harus  mampu menunjukkan bagaimana permasalahan yang hendak diteliti itu terintegrasi secara konseptual.
3.      Latar belakang masalah seharusnya mengandung serangkaian argumen yang bersifat akademik (dialog teoritik) dan juga telaah atas hasil-hasil penelitian sebelumnya yang disertai dengan beberapa alasan praktis mengapa penelitian itu penting dan perlu dilakukan.
4.      Tunjukkan dalam latar belakang masalah bahwa penelitian yang hendak kita lakukan bukanlah bentuk pengulangan dari penelitian yang dilakukan orang lain sebelumnya. Kita harus sanggup menunjukkan bahwa topik dan masalah yang akan kita teliti memang belum pernah dikaji secara serius oleh peneliti lain.
5.      Mulailah dengan memaparkan gejala yang umum terlebih dahulu kemudian menuju gejala yang lebih spesifik, atau yang biasa disebut dengan istilah Piramida Terbalik.
6.      Berikan gambaran sepintas dalam latar belakang masalah yang kita buat terkait dengan hasil yang kita harapkan. Hal ini sekaligus memandu kita dalam proses penelitian agar tidak melenceng dari tujuan yang kita harapkan.[4]
Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa latar belakang masalah dalam penelitian berisi tentang situasi problematik yang memberi alasan kepada peneliti mengapa penelitian itu penting dan perlu untuk dilakukan. Cara membuat latar belakang masalah penelitian yang baik ialah dengan mengacu pada beberapa prinsip yang sudah penulis paparkan dalam uraian di atas.
Semakin kita memahami dengan jelas topik dan masalah dalam penelitian yang akan kita lakukan, maka akan semakin mudah pula dalam kita menyusun latar belakang masalah penelitian dalam proposal penelitian. Jika kita tidak terlalu memahami betul tentang topik dan masalah yang akan kita teliti, maka kita akan bingung dalam menyusun latar belakang masalah. Oleh karenanya, pemilihan topik dan masalah penelitian yang sesuai dengan bidang yang kita kuasai sangat penting untuk dilakukan agar hasil penelitian kita nantinya bisa maksimal dan berjalan dengan lancar.


[1] http://contohbaik.blogspot.co.id/2015/04/contoh-cara-membuat-latar-belakang.html
[2] https://akhmadfauji.wordpress.com/2008/09/14/cara-penulisan-latar-belakang-masalah-dalam-karya-ilmiah/
[3] http://eggaysafron.blogspot.co.id/2015/01/pentingnya-membuat-latar-belakang.html
[4] http://www.wikipendidikan.com/2016/03/cara-dan-prinsip-membuat-latar-belakang-masalah-penelitian-yang-baik.html

MENJADIKAN SYAWAL SEBAGAI BULAN PENINGKATAN


Bulan Ramadhan telah berakhir setelah sebulan penuh kita berpuasa. Bulan ramadhan merupakan bulan pendidikan bagi umat Islam. Umat Islam di bulan tersebut tidak hanya diwajibkan berpuasa dalam artian menahan lapar dan dahaga saja, melainkan diperintahkan untuk menahan diri dari perbuatan yang merusak puasa seperti bersenandau gurau, berbicara porno, ghibah, berdebat dan lain sebagainya. Intinya puasa bagi umat Islam adalah ibadah yang mengajarkan seorang hamba agar mampu mengendalikan hawa nafsu agar meraih derajat takwa. Untuk menjaga diri dari perbuatan yang merusak puasa maka umat Islam dianjurkan untuk mengisi waktu selama bulan ramadhan dengan memperbanyak dan meningkatkan amal ibadah seperti membaca Al-Qur’an kalau bisa sampai khatam, memperbanyak amalan sunnah, dan berfastabiqul khoirot.
Salah satu tanda diterimanya ibadah puasa kita selama ramadhan adalah istiqomah dalam beramal shalih bahkan meningkat amal shalihnya dibulan berikutnya yakni bulan syawal.
Ibnu Rajab Al-Hambali Rahimahullah berkata “Kembali lagi melakukan puasa setelah puasa Ramadhan, itu tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan. Karena Allah jika menerima amalan seorang hamba, Allah akan memberi taufik untuk melakukan amalan shalih setelah itu. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama, ‘Balasan dari kebaikan adalah kebaikan selanjutnya.’ Oleh karena itu, siapa yang melakukan kebaikan lantas diikuti dengan kebaikan selanjutnya, maka itu tanda amalan kebaikan yang pertama diterima. Sedangkan yang melakukan kebaikan lantas setelahnya malah ada kejelekan, maka itu tanda tertolaknya kebaikan tersebut dan tanda tidak diterimanya.[1]
Berdasarkan keterangan di atas, pesan yang tersirat adalah tanda bahwa suatu amal kebaikan itu diterima yakni apabila kebaikan tersebut diikuti kebaikan selanjutnya. Artinya setelah seorang hamba selesai melakukan amalan ibadah kemudian tergerak untuk melakukan suatu kebaikan maka itu tandanya ibadahnya diterima.
Bulan syawal merupakan bulan yang menjadi cerminan diterima atau tidaknya ibadah puasa kita. Apabila kita melanjutkan kebiasaan beramal shalih selama ramadhan di bulan selanjutnya yakni di bulan syawal berarti amal ibadah kita selama bulan ramadhan itu diterima atau paling tidak membekas dalam bentuk kebaikan selanjutnya.
Tak ada salahnya menjadikan bulan syawal sebagai sarana untuk meningkatkan amal ibadah kita walaupun bulan syawal secara bahasa tidak ada sangkut pautnya dengan peningkatan. Secara bahasa bulan syawal berarti mengangkat atau menegakkan.
Ibnul ‘Allan asy Syafii mengatakan, “Penamaan bulan Syawal itu diambil dari kalimat Sya-lat al Ibil yang maknanya onta itu mengangkat atau menegakkan ekornya. Syawal dimaknai demikian, karena dulu orang-orang Arab menggantungkan alat-alat perang mereka, disebabkan sudah dekat dengan bulan-bulan haram, yaitu bulan larangan untuk berperang.”(Dalil al Falihin li Syarh Riyadh al Shalihin).[2]
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit. (HR. Muslim no. 783)[3]. Berdasarkan dalil tersebut maka disimpulkan bahwa umat Islam dalam beramal shalih tidak boleh sebatas musiman saja dalam arti selama bulan ramadhan melainkan harus istiqomah dibulan selanjutnya.
Sebagian ulama berkata Sejelek-jelek orang adalah yang hanya rajin ibadah di bulan Ramadhan saja. Sesungguhnya orang yang sholih adalah orang yang rajin ibadah dan rajin shalat malam sepanjang tahun.[4] Oleh karena itu agar kita tidak masuk ke dalam golongan yang tercela menurut ulama, maka marilah kita lanjutkan kebiasaan beramal shalih selama Ramadhan di bulan Syawal ini, misalnya dengan melanjutkan berpuasa sunnah di bulan syawal atau istiqomah falam melaksanakan qiyamul lail. Selain itu apabila kita istiqomah dalam beramal shalih maka kita kan termasuk ke dalam golongan yang dicintai oleh Allah SWT, sebagaimana yang disinggung dalam hadits di atas. Selanjutnya marilah kita jadikan bulan syawal ini sebagai bulan untuk berfastabiqul khairat agar kita layak untuk menyandang gelar hamba yang bertakwa.





[1] https://rumaysho.com/11375-tanda-amalan-puasa-ramadhan-diterima.html.
[2] https://muslimah.or.id/4121-benarkan-bulan-syawal-artinya-bulan-peningkatan.html
[3] https://muslim.or.id/3009-amalan-lebih-baik-kontinu-walaupun-sedikit.html
[4] Ibid.

Tuesday, June 27, 2017

SEJARAH HALAL BI HALAL

Sudah menjadi kelaziman di negara kita bahwa ketika tiba hari raya idul fitri maka kan dibarengi dengan tradisi halal bi halal. Halal bi halal pada dasarnya adalah suatu tradisi berkumpul sekelompok orang Islam di Indonesia dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai ungkapan saling memaafkan agar yang haram menjadi halal. Umumnya, kegiatan ini diselenggarakan setelah melakukan shalat Idul Fitri. Kadang-kadang, acara halal bi halal juga dilakukan di hari-hari setelah Idul Fitri dalam bentuk pengajian, ramah tamah atau makan bersama.[1] Halal bi halal ini sudah lazim dilakukan baik di lingkungan desa, kantor ataupun instansi resmi pemerintah. Kendati halal bi halal sudah lazim dilakukan, banyak dari kita yang belum mengetahui secara pasti makna dan sejarah dari halal bi halal itu sendiri.[2]
Pengertian Halal bi halal
Halal bi halal bila diamati seolah-olah merupakan kata-kata yang diadobsi dari bahasa arab, akan tetapi jika dicari dalam kamus bahasa arab baik klasik maupun modern maka tidak akan dijumpai kata hal bi halal tersebut. Secara bahasa, halal bi halal adalah kata majemuk dalam bahasa Arab dan berarti halal dengan halal atau sama-sama halal.[3] Kalau diperhatikan dengan seksama kata halal bi halal memang istilah hasil kreasi orang indonesia. Berdasarkan analisis fajrul falah kata halal bi hala memiliki dua makna. Makna yang pertama halal bi halal berarti mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Sementara makna yang kedua adalah pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.[4] Adapun secara Istilah kata halal bi halal lazim dimaknai sebagai tradisi saling meminta maaf setelah melakasanakan shalat idul fitri.
Sejarah Halal bi Halal
Mengenai asal usul dan perintis dari tradisi halal bi halal memang terjadi simpang siur. Ada yang berpendapat bahwa tradisi halal bi halal dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I atau yang disebut dengan pangeran Samber Nyawa. Ada juga yang berpendapat bahwa tradisi halal bi halal dirintis oleh KH Wahab Hasbullah salah satu tokoh yang berpengaruh di dalam Organisasi NU. Namun berdasarkan riwayat yang masyhur, diketahui bahwa perintis dari tradisi halal bi halal adalah KH Wahab Hasbullah.
Tradisi halal bi halal berawal dari gejala disintegrasi bangsa yang terjadi pada tahun 1948 tepatnya pada masa kepemimpinan presiden Soekarno. Indikasi dari gejala disintegrasi tersebut antara lain munculnya berbagai macam pemberontakan di berbagai wilayah Indonesia. Disisi lain para elit politik tidak akur.
Pada pertengahan bulan Ramadhan, Presiden Soekarno memanggil KH Wahab Hasbullah ke istana negara. Beliau dimintai saran agar Bung Karno dapat menyelesaikan situasi pelik dari politik di Indonesia saat itu. Kiai Wahab mengusulkan agar Bung Karno mengadakan acara silaturrahmi antar elit politik, karena sebentar lagi adalah hari raya Idul Fitri di mana umat islam disunnahkan untuk bersilaturrahmi.
Bung Karno meminta kepada KH Wahab Hasbullah agar memberi nama khusus untuk kegiatan silaturahmi tersebut.
Kyai Wahab lalu menjawab, “Itu gampang. Begini, para elit politik tidak mau bersatu itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa, dan dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah 'halal bi halal'. Dari situ kemudian para elit politik dapat kembali berkumpul dan duduk dalam satu meja untuk kembali menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.[5]
Bila diamati dengan seksama maka akan diketahui bahwa tujuan awal penyelenggaraan halal bi halal adalah untuk mencegah terjadinya disintegrasi bangsa Indonesia serta mempererat persatuan dan kesatuan bangsa. Namun seiring dengan perkembangan zaman, tujuan dari tradisi halal bi halal berkembang menjadi ajang untuk menyambung silaturahmi antar keluarga dan kerabat terutama kerabat yang jauh serta mempererat ukhuwah Islamiah.











































[1] http://bahasakita.com/2009/08/23/halal-bihalal2/
[2] http://www.kompasiana.com/fajrulfalah/sejarah-dan-makna-halal-bi-halal-yang-sebaiknya-anda-ketahui_5778dde8927e61941d2b6b17
[3] https://almanhaj.or.id/3158-menyingkap-keabsahan-halal-bi-halal.html
[4] http://www.kompasiana.com/fajrulfalah/sejarah-dan-makna-halal-bi-halal-yang-sebaiknya-anda-
[5] Ibid.