Saturday, December 22, 2018

DAKWAH RASULULLAH PERIODE MADINAH




Pasca peristiwa isra’ mi’raj, terlihat tanda-tanda perkembangan besar bagi kemajuan dakwah Islam. Perkembangan tersebut terlihat ketika rombongan haji asal Yatsrib yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj menyatakan masuk Islam. Proses masuk Islamnya kedua suku tersebut terjadi dalam tiga gelombang. Gelombang pertama terjadi pada tahun kesepuluh keNabian, alasan utama mereka masuk Islam ialah agar terwujud perdamaian diantara kedua suku tersebut yang telah lama bermusuhan. Meraka berharap Islam dapat menjadi sarana/wasilah untuk mendamaikan dan mepersatukan kedua suku tersebut. Gelombang kedua terjadi pada tahun keduabelas keNabian, sepuluh orang dari suku Khazraj, dua orang suku Aus, serta seorang wanita datang menemui Nabi di Aqobah. Mereka menyatakan ikrar kesetiaan dihadapan Nabi, ikrar tersebut dikenal dengan perjanjian Aqabah pertama. Gelombang ketiga terjadi pada musim haji berikutnya, rombongan haji asal Yatsrib yang berjumlah 73 orang dengan mengatasnamakan penduduk Yatsrib meminta pada Nabi untuk berhijrah ke Yatsrib. Mereka berjanji akan melindungi Nabi dari segala ancaman, sedangkan Nabi menyetujui usul mereka. Perjanjian tersebut kemudian dikenal sebagai perjanjian Aqabah kedua.
Kabar tentang perjanjian antara penduduk Yatsrib dengan Nabi Muhammad terdengar oleh kaum Musyrikin Quraisy. Hal itu membuat mereka marah dan melancarkan berbagai intimidasi kepada umat Islam. Hal ini membuat Nabi segera memerintahkan sahabatnya berserta kaum muslimin lainnya agar berhijrah ke Yatsrib. Dalam waktu sekitar dua bulan, hampir semua umat Islam yang berjumlah kurang lebih 150 orang telah meninggalkan kota Makkah. Hanya Ali dan Abu Bakar lah yang setia menemani Nabi sampai Nabipun berhijrah ke Yatsrib karena kafir Quraisy sudah memiliki rencana untuk membunuhnya.[1]
Strategi Dakwah Rasulullah di Madinah.
Penduduk Yatsrib telah lama menantikan kedatangan Rasulullah. Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba, Rasulullah memasuki kota Yatsrib dan mendapatkan sambutan dengan penuh kegembiraan dari penduduk Yatsrib. Sejak saat itu nama Yatsrib diubah dengan nama Madinatun Nabi (Kota Nabi) sebagai bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad. Kota tersebut juga disebut sebagai Madinatul Munawarah (kota yang bercahaya), karena dari sanalah cahaya Islam memancar keseluruh dunia. Dalam Istilah sehari-hari, kota ini cukup disebut sebagai Madinah saja.[2]
Adapun metode dakwah yang Nabi terapkan di Madinah berbeda dengan ketika beliau berada di Makkah. Di Madinah nabi tidak menemukan golongan yang menentang dakwahnya, sehingga ajaran yang disampaikan beliau langsung diterima oleh masyarakat Madinah. Dakwah Rasulullah di Madinah sifatnya membina karena sebelum Rasulullah berhijrah di Madinah sudah banyak penduduknya yang masuk Islam. Berikut ini adalah strategi Rasulullah dalam membina masyarakat Madinah.
1.      Membangun Masjid.
Proritas pertama yang dilakukan Nabi Muhammad setibanya di Madinah adalah membangun Masjid. Masjid dibangun di atas tanah milik kedua anak yatim, yaitu Sahl dan Suhail. Tanah tersebut dibeli oleh Nabi untuk pembangunan masjid dan untuk tempat tinggal.[3]
Di masa Nabi, masjid tak hanya digunakan dalam urusan beribadah saja. Masjid diberdayakan sebagai tempat belajar, mengatur pemerintahan, bahkan mempersiapkan siasat perang. Di Madinah, beliau membangun masjid yang pertama kalinya yakni masjid Nabawi yang berarti masjid Nabi. Masjid tersebut didirikan di bulan rabiulawal tahun 1 Hijriah.[4]
2.      Mempersaudarakan Kaum Muhajirin dan Anshar.
Kaum Muhajirin adalah sebutan bagi Umat Islam yang berhijrah dari Mekkah ke Madinah. Sedangkan kaum Anshar adalah penduduk asli Madinah yang memberikan pertolongan untuk kaum Muhajirin.
Nabi mempersaudarakan kaum muhajirin dan anshar dengan tujuan menghilangkan  perasaan asing di  antara Muhajirin dan Anshar, membangun rasa persaudaraan dalam ikatan iman, agar satu  sama  lain selalu tolong  menolong, melenyapkan fanatisme kesukuan, meruntuhkan semua perbedaan.[5]
3.      Membuat perjanjian damai dengan non Muslim.
Kondisi masyarakat Madinah di awal kedatangan Rasulullah terdiri atas tiga golongan yaitu Arab Muslim, Arab Musyrik dan Yahudi. Dalam rangka menjaga keamanan kota Madinah dari gangguan luar maka diperlukan adanya kerja sama antar penduduknya yang memiliki beragam keyakinan. Oleh karena itu, maka dibuatlah sebuah perjanjian antra kaum Muslim dan non Muslim di Madinah. Perjanjian itu disebut dengan “Piagam Madinah”. Adapun isi dari Piagam Madinah adalah sebagai berikut:
Ø  Kaum Muslimin dan Yahudi hidup secara damai dan bebas memeluk serta menjalankan agamanya masing-masing
Ø  Jika salah satu pihak diperangi musuh dari luar mereka wajib membantu salah satu pihak yang diserang
Ø  Kaum Muslimin dan Yahudi wajib tolong menolong dalam melaksanakan kewajiban untuk kepentingan bersama
Ø  Nabi Muhammad adalah pemimpin umum untuk seluruh penduduk Madinah, jika terjadi perselisihan diantara Kaum Muslim dan Yahudi maka penyelesaiannya dikembalikan kepada pengadilan Nabi sebagai pemimpin tertinggi di kota Madinah
Ø  Orang Yahudi yang bergabung dengan kaum Muslimin akan dilindungi dari semua gangguan serta mempunyai hak yang sama[6]
4.      Mengirim surat ajakan masuk Islam kepada penguasa di luar Jazirah Arab.
Rasulullah mengirim utusan untuk menyampaikan surat yang berisi ajakan masuk Islam kepada para penguasa diluar jazirah Arab. Para penguasa yang dikirimi surat oleh Rasulullah antara lain:
a.       Heraclius. (Kaisar Bizantium)
Dalam shahih Bukhari dan Muslim diceritakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkirim surat kepada Heraclius (Raja Romawi). Surat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibawa oleh Dihyah al-Kalbi Radhiyallahu anhu .
Begitu menerima surat dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Kaisar berkeinginan untuk melakukan penelitian untuk mengetahui kebenaran kenabian Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui orang-orang yang memiliki hubung erat dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Pilihannya jatuh pada orang-orang yang berasal dari kaumnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu kaum Quraisy. Saat itulah, Kaisar mendengar berita kedatangan sekelompok pedagang, diantara mereka ada Abu Sufyan dari Quraisy. Lalu Kaisar menyuruh agar orang-orang itu dibawa menghadap beliau dengan ditemani penerjemah. Waktu itu Abu Sufyan masih kafir.
Setelah Heraclius berdialog dengan  Abu Sufyan, Di akhir dialog Heraclius menyimpulkan bahwa semua ciri-ciri nabi yang dijelaskan dalam kitab Injil, Nabi yang mereka tunggu-tunggu ada pada diri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Heraklius mengatakan, “Jika benar apa yang engkau beritakan, maka dia (maksudnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) kelak akan mampu menguasai wilayah yang dipijak oleh kedua kakiku ini. Saya yakin dia akan datang, namun saya tidak pernah menduga kalau dia berasal dari kalian”.
Heraclius berkata kepada utusan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Dihyah bin al-Kalbi, “Sungguh saya tahu bahwa temanmu itu adalah seorang nabi yang diutus. Nabi yang kami tunggu-tunggu dan nabi yang kami dapatkan (keterangannya) dalam kitab kami. Namun saya takut orang-orang romawi akan membunuhku. Kalau bukan karena itu, tentu saya sudah mengikutinya.”
Kesimpulan yang bisa ditarik dari percakapan antara Heraclius dengan Abu Sufyan juga dengan Dihyah al-Kalbi Radhiyallahu anhu yaitu Heraclius sudah mengetahui dan meyakini kenabian Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , namun dia tetap tidak beriman. Ini menunjukkan kecintaan terhadap kekuasaan telah menghalangi dia dari memiliki jalan yang haq ini yaitu Islam.[7]
b.      Muqauqis (Gubernur Romawi di Mesir).
Rasulullah mengirim surat kepada Muqauqis melalui utusannya yang bernama Hatib. Muqauqis menolak ajakan Rasulullah untuk masuk Islam, namun beliau tetap membalas surat dari Rasulullah serta mengirim hadiah-hadiah berupa seorang budak wanita, beberapa ekor keledai dan beberapa buah pakaian.[8]
c.       Raja Persia (Raja Khosrau II/Kisra Abrawaiz)
Imam al-Bukhari membawakan riwayat dengan sanad beliau rahimahullah yang bersambung sampai ke Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan surat ke Kisra melalui shahabat beliau yang bernama Abdullah bin Khuzafah as-Sahmi, lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya agar menyerahkan surat tersebut ke pembesar Bahrain. Kemudian oleh penguasa Bahrain, surat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu diserahkan ke Kisra. Setelah membaca dan memahami isi surat dakwah itu, dengan penuh kesombongan dia merobek-robek surat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia tidak menyangka bahwa akibat dari perbuatan buruknya itu akan begitu dahsyat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan keburukan bagi raja tersebut, sehingga kekuasaan yang selama ini dia bangun dan banggakan hancur berantakan.[9]
Persia akhirnya kalah dalam perang menghadapi Romawi dengan kekalahan yang menyakitkan. Kemudian iapun digulingkan oleh anaknya sendiri yakni Syirawaih. Ia dibunuh dan dirampas kekuasaannya. Kemudian kerajaan itu kian tercabik-cabik dan hancur sampai akhirnya ditaklukkan oleh pasukan Islam pada jaman Khalifah Umar bin Khaththab ra hingga tidak bisa lagi berdiri.[10]
d.      Raja Najasyi
Rasulullah SAW mengirim surat kepada Raja Najasyi- Habsyah yang bernama Ashhamah bin Al-Abjar. Isi suratnya adalah menyerukan sang raja agar memeluk agama Islam. Saat surat tersebut sampai di Istana, sang raja  An-Najasyi mengambil surat itu,  lalu meletakkan ke wajahnya dan turun dari singgasana. Beliau pun masuk Islam melalui Ja’far bin Abi Thalib r.a.
Setelah masuk Islam, sang raja kemudian membalas surat kepada Rasulullah Sallallahu A’laihi Wasallam untuk mengabarkan keislamannya. Raja Najasyi akhirnya meninggal pada bulan rajab tahun ke-9 Hijriyyah. Saat mendengar raja ini meningggal, Rasulullah SAW pun melakukan shalat ghaib untuk sebagai penghormatan terakhir. Nabi juga mengabarkan bahwa Raja Najasyi kelak akan masuk syurga.[11]
e.       Gubernur Al-Mundzir bin Sawa (Penguasa Bahrain)
Nabi Muhammad Sallallahu A’laihi Wasallam mengutus risalah kepada al-Munzir bin Sawa pemerintah Bahrain, menyeru beliau kepada Islam. Rasulullah Sallallahu A’laihi Wasallam memilih al-’Ala’ bin al-Hadhrami untuk menyampaikan risalahnya itu, sebagai jawaban al-Munzir telah menulis kepada Rasulullah seperti berikut ;
“Adapun setelah itu wahai Rasulullah, sebenarnya telah pun ku baca bingkisan tuan hamba itu kepada penduduk Bahrain, di antara mereka gemarkan Islam dan kagum dengannya dan sebahagian yang lain membencinya, di bumi ku ini terdapat penganut Majusi dan Yahudi, maka berlaku sesuatu hal di sini mengenai seruan tuan hamba itu.”
Rasulullah s.a.w membalas semula kepadanya:  “Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang ” Dari Muhammad Utusan Allah kepada al-Munzir bin Sawi salam ke atas kamu. Maka sesungguhnya kepada Engkau Allah, aku memuji yang tiada Tuhan selainNya dan aku mengaku bahawa Muhammad adalah hambaNya dan pesuruhNya, adapun selepas itu aku mengingatkan kau dengan Allah Azzawajala, maka sesungguhnya barangsiapa yang memberi nasihat sebenarnya dia menasihati dirinya, dan barangsiapa yang mentaati ku dan barangsiapa yang menasihatkan mereka bererti telah menasihatiku.
Sebenarnya para utusan ku telah pun memuji kau dengan baik, sesungguhnya melalui kamu aku memberi syafaat ku kepada kaum kamu, oleh itu biarlah kaum muslimin dengan kebebasan mereka dan pengampunan kamu terhadap orang-orang yang bersalah, maka terimalah mereka. Sekiranya kamu terus soleh dan baik maka kami tidak akan menghentikanmu dari tugasmu dan barangsiapa yang masih dengan berpegang erta pada agama Yahudi atau Majusinya maka wajib baginya wajib membayar jizyah.[12]
Rintangan Dakwah Rasulullah di Madinah
Perjalanan dakwah nabi di Madinah tidak selamanya berjalan mulus meskipun berbagai upaya perdamaian telah dilakukan namun kaum kafir Quraisy tidak mau menyerah untuk terus menentang dakwah Nabi dengan berbagai cara. Akhirnya pecahlah beberapa perang yang antara lain; Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq.
1.      Perang Badar
Perang ini merupakan awal pertempuran umat Islam melawan kaum kafir Quraisy yang dipimpin oleh petinggi-petinggi kafir Quraisy dibawah komando Abu Jahal atau Amir bin Hisyam terjadi pada tanggal 17 Maret 624 M atau 17 Ramahan 2 Hijriah.
Perang Badar terjadi akibat kesepakatan kaum Muslimin di Madinah yang terancam kedaulatannya oleh kedatangan kaum kafir Quraisy yang akan melakukan perdagangan menuju Syam. Untuk menuju Syam Kafir Quraisy harus melewati Madinah, kaum muslimin yakin bahwa kedatangan kaum kafir Quraisy ke Madinah menuju Syam tidak akan hanya lewat saja melainkan sudah pasti adanya maksud lain yaitu ingin menguasai kaum muslimin di Madinah karena hal ini memang sudah direncanakan oleh kaum Quraisy.
Nabi mencegat pasukan Quraisy dengan hanya berjumlah pasukan lebih kurang 313 orang, sedangkan kaum Kafir Quraisy berjumlah 1000 orang. Perang ini akhirnya dimenangkan oleh kaum muslimin dengan terbunuhnya kepala pasukan mereka yaitu Abu Jahal.
Atas kemenangan perang ini kaum Muslimin semakin mempunyai kepercayaan diri yang kuat dan kedudukan Nabi sebagai pemimpin umat serta panglima perang semakin Berjaya. Nama Nabi Muhammad SAW semakin harum di hati kaum Muslimin di Madinah.
2.      Perang Uhud
Perang ini adalah upaya kaum kafir quraisy untuk membalas kekalahan mereka pada perang Badar. Pada mulanya kaum kafir memancing kemarahan kaum muslimin dengan menduduki lading gandum kaum mukmin di wilayah bukit Uhud yang berjarak tiga mil dari Madinah.
Perang yang sangat dahsyat ini terjadi pada tanggal 15 syuro 3  Hijriah atau 13 Maret 625 M dan diikuti lebih kurang 1000 orang kaum muslimin namun karena adanya hasutan dari pihak Quraisy pasukan Nabi hanya tinggal 700 orang saja. Kaum inilah yang kita kenal di kemudian hari sebagai orang-orang munafik.
Sebagai panglima perang sebenarnya Nabi lebih mengedepankan strategi menunggu musuh di Madinah karena mengingat jumlah kaum muslimin yang tidak sebanding dengan jumlah kaum kafir Quraisy yang mencapai 3000 orang, namun karena adanya desakan dari beberapa pihak kaum Muslimin akhirnya Nabi menyetujui untuk berangkat menuju bukit Uhud.
Setibanya di Uhud dini hari Nabi langsung menyusun strategi perang. Bahwasannya kaum Muslimin diperintahkan oleh Nabi untuk meninggalkan posisi masing-masing diatas bukit. Strategi ini hampir memenangkan kaum muslimin tetapi karena akhirnya kaum muslimin banyak yang tergiur adanya harta rampasan atau ghonimah, lalu mereka mulai meninggalkan pesan yang merupakan strategi Nabi untuk turun di bawah bukit tempat harta ghonimah berada demikian pula pasukan pemanah yang dipimpin oleh Mus’ab bin Abi Waqqos pun turut memburu harta rampasan tersebut dan akhirnya pasukan muslimin pun berantakan.
Demi melihat kaum muslimin berada dibawah bukit maka para Kafir Quraisy yang dipimpin oleh Kholid bin Walid menggantikan posisi perang dari atas bukit yang mengakibatkan kaum muslimin terkepung dan mengalami kekalahan fatal. Perang ini menyebabkan kekalahan kaum muslimin dan mengakibatkan tewasnya 70 syuhada.
3.      Perang Khandaq
Perang ini terjadi akibat kaum Quraisy dari kabilah kabilah Arab serta kaum Yahudi di Madinah ingin menumpas kaum muslimin, dinamakan perang  Khandaq (yang berarti parit) karena kaum muslimin menggali parit sebagai benteng pertahanannya dari serangan musuh. Ide penggalian parit sebagai upaya membendung laju musuh ini diprakarsai oleh seorang ahli siasat perang yang bernama Salman Alfarisi.
Perang Khandaq terjadi pada awal Syawal tahun 5 H diikuti oleh sebanyak 3000 kaum muslimin dan sekitar 500 ribu kaum kafir. Perang yang akhirnya dimenangkan oleh kaum muslimin ini dibantu  dengan pertolongan Allah berupa angin badai yang sangat dahsyat memporak-porandakan periuk, kemah dan angin itu membuat debu panas berterbangan menimpa pasukan kafir.[13]
Demikianlah uraian singkat mengenai strategi dakwah nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam di kota Madinah. Semoga bermanfaat. Atas segala kekukarangan dalam artikel ini, saya mohon maaf.


[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah 2, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2001), h. 24-25.
[2] Ibid, h. 25.
[3] https://intinebelajar.blogspot.com/2017/04/langkah-langkah-dakwah-nabi-muhammad-saw-di-madinah.html
[4] https://www.kakakpintar.id/kisah-singkat-dakwah-nabi-muhammad-di-madinah/
[5]https://www.researchgate.net/publication/324182580_2POLA_DAKWAH_NABI_MUHAMMAD_SAW_DI_MADINAH_DAN
[6] http://pai-smaza16.blogspot.com/2017/04/kelas-x-semester-2-dakwah-nabi-muhammad.html
[7] https://almanhaj.or.id/4248-surat-dakwah-rasulullah-shallallahu-alaihi-wa-sallam-kepada-para-penguasa-dan-raja-kafir.html
[8] http://jumrahonline.blogspot.com/2015/10/sejarah-dakwah-rasulullah-saw-periode_1.html
[9] https://almanhaj.or.id/4248-surat-dakwah-rasulullah-shallallahu-alaihi-wa-sallam-kepada-para-penguasa-dan-raja-kafir.html
[10] http://www.voa-islam.com/read/tsaqofah/2011/12/25/17183/suratsurat-rasulullah-ajak-penguasa-rajaraja-kafir-masuk-islam/;#sthash.kShl1I3l.dpbs
[11] https://www.infoyunik.com/2015/03/surat-surat-ini-saksi-dakwah-rasulullah.html
[12] https://aulia-renais.blogspot.com/2014/01/inilah-koleksi-surat-surat-rasulullah.html?showComment=1545482686786#c7948563712078710828
[13] http://pai-smaza16.blogspot.com/2017/04/kelas-x-semester-2-dakwah-nabi-muhammad.html

Sunday, December 16, 2018

Hukum Melafadzkan Niat (Usholli, Nawaitu …)




Sahabat –Al Faruq- Umar bin Khaththab radhiyallahu ’anhu berkata,”Saya mendengar Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,’Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia telah berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya itu karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya’.” (HR. Bukhari & Muslim). Inilah hadits yang menunjukkan bahwa amal seseorang akan dibalas atau diterima tergantung dari niatnya.
Setiap Orang Pasti Berniat Tatkala Melakukan Amal
Niat adalah amalan hati dan hanya Allah Ta’ala yang mengetahuinya. Niat itu tempatnya di dalam hati dan bukanlah di lisan, hal ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin Abdul Harim Abul Abbas Al Haroni dalam Majmu’ Fatawanya.
Setiap orang yang melakukan suatu amalan pasti telah memiliki niat terlebih dahulu. Karena tidak mungkin orang yang berakal yang punya ikhtiar (pilihan) melakukan suatu amalan tanpa niat. Seandainya seseorang disodorkan air kemudian dia membasuh kedua tangan, berkumur-kumur hingga membasuh kaki, maka tidak masuk akal jika dia melakukan pekerjaan tersebut -yaitu berwudhu- tanpa niat. Sehingga sebagian ulama mengatakan,”Seandainya Allah membebani kita suatu amalan tanpa niat, niscaya ini adalah pembebanan yang sulit dilakukan.”
Apabila setan membisikkan kepada seseorang yang selalu merasa was-was dalam shalatnya sehingga dia mengulangi shalatnya beberapa kali. Setan mengatakan kepadanya,”Hai manusia, kamu belum berniat”. Maka ingatlah,”Tidak mungkin seseorang mengerjakan suatu amalan tanpa niat. Tenangkanlah hatimu dan tinggalkanlah was-was seperti itu.”(Lihat Syarhul Mumthi, I/128 dan Al Fawa’id Dzahabiyyah, hal.12)
Melafadzkan Niat
Masyarakat kita sudah sangat akrab dengan melafalkan niat (maksudnya mengucapkan niat sambil bersuara keras atau lirih) untuk ibadah-ibadah tertentu. Karena demikianlah yang banyak diajarkan oleh ustadz-ustadz kita bahkan telah diajarkan di sekolah-sekolah sejak Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi. Contohnya adalah tatkala hendak shalat berniat ’Usholli fardhol Maghribi …’ atau pun tatkala hendak berwudhu berniat ’Nawaitu wudhu’a liraf’il hadatsi …’. Kalau kita melihat dari hadits di atas, memang sangat tepat kalau setiap amalan harus diawali niat terlebih dahulu. Namun apakah niat itu harus dilafalkan dengan suara keras atau lirih?!
Secara logika mungkin dapat kita jawab. Bayangkan berapa banyak niat yang harus kita hafal untuk mengerjakan shalat mulai dari shalat sunat sebelum shubuh, shalat fardhu shubuh, shalat sunnah dhuha, shalat sunnah sebelum dzuhur, dst. Sangat banyak sekali niat yang harus kita hafal karena harus dilafalkan. Karena ini pula banyak orang yang meninggalkan amalan karena tidak mengetahui niatnya atau karena lupa. Ini sungguh sangat menyusahkan kita. Padahal Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,”Sesungguhnya agama itu mudah.” (HR. Bukhari)
Ingatlah setiap ibadah itu bersifat tauqifiyyah, sudah paketan dan baku. Artinya setiap ibadah yang dilakukan harus ada dalil dari Al Qur’an dan Hadits termasuk juga dalam masalah niat.
Setelah kita lihat dalam buku tuntunan shalat yang tersebar di masyarakat atau pun di sekolahan yang mencantumkan lafadz-lafadz niat shalat, wudhu, dan berbagai ibadah lainnya, tidaklah kita dapati mereka mencantumkan ayat atau riwayat hadits tentang niat tersebut. Tidak terdapat dalam buku-buku tersebut yang menyatakan bahwa lafadz niat ini adalah hadits riwayat Imam Bukhari dan sebagainya.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan dalam kitab beliau Zaadul Ma’ad, I/201, ”Jika seseorang menunjukkan pada kami satu hadits saja dari Rasul dan para sahabat tentang perkara ini (mengucapkan niat), tentu kami akan menerimanya. Kami akan menerimanya dengan lapang dada. Karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna dari petunjuk Nabi dan sahabatnya. Dan tidak ada petunjuk yang patut diikuti kecuali petunjuk yang disampaikan oleh pemilik syari’at yaitu Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam.”  Dan sebelumnya beliau mengatakan mengenai petunjuk Nabi dalam shalat,”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak mendirikan shalat maka beliau mengucapkan : ‘Allahu Akbar’. Dan beliau tidak mengatakan satu lafadz pun sebelum takbir dan tidak pula melafadzkan niat sama sekali.”
Maka setiap orang yang menganjurkan mengucapkan niat wudhu, shalat, puasa, haji, dsb, maka silakan tunjukkan dalilnya. Jika memang ada dalil tentang niat tersebut, maka kami akan ikuti. Dan janganlah berbuat suatu perkara baru dalam agama ini yang tidak ada dasarnya dari Nabi. Karena Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,” Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada dasar dari kami, maka amalan tersebut tertolak. (HR. Muslim). Dan janganlah selalu beralasan dengan mengatakan ’Niat kami  kan baik’, karena sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhuma mengatakan,”Betapa banyak orang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi, sanadnya shahih, lihat Ilmu Ushul Bida’, hal. 92)

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat wa shallallahu ’ala Muhammad wa ’ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Tulisan sederhana di masa Islam, diterbitkan oleh Buletin Dakwah At Tauhid

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel https://rumaysho.com


Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/934-hukum-melafadzkan-niat-usholli-nawaitu-2.html

SUMBER HUKUM ISLAM






Islam adalah hadiah dari Allah kepada jin dan manusia sebagi wujud dari kasih sayangnya. Barang siapa yang memilih Islam sebagai agamanya niscaya hidupnya akan bahagia dan selamat dunia akhirat.
Allah memerintahkan umat Islam agar memeluk Islam secara kaffah agar selamat dari fitnah dunia maupun akhirat. Konsekuensi dari memeluk Islam secara kaffah adalah dengan melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala bentuk larangan Allah. Agar bisa menjalankan ajaran Islam secara menyeluruh umat Islam haruslah memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam terkait perintah maupun larangan dalam Islam. Pengetahuan ajaran Islam yang shohih terutama menyangkut perintah dan larangan terdapat pada dalil syar’i atau sumber hukum Islam.
Sumber-sumber hukum Islam (Arab: الأدلة الشرعية الإسلامية, translit. al-adillah al-syar’iyyah al-islāmiyyah), atau dalil syar'i, adalah rujukan pengambilan keputusan untuk menghukumi suatu perbuatan (misal, wajib) dalam syariat Islam dengan cara yang dibenarkan.[1]
Alquran dan Sunnah adalah 2 dasar utama dari sumber syariat Islam itu sendiri. Sesuai berkembangnya zaman, waktu pun berlalu, maka permasalahan umat pun semakin complicated. makanan halal, minuman halal dalam Islam, makanan haram menurut Islam, hukum pernikahan, dan fiqih muamalah jual beli dalam Islam sudah berkembang dan semakin komplit. Hal tersebut tidak dijelaskan dalam kedua sumber tersebut secara jelas dan gamblang. Melihat kasus ini maka perlu adanya peranan para ulama untuk mengkaji lebih dalam makna yang tersimpan dalam Alquran sebagai cara mencari jalan keluar dari hukum Islam.
Selain dua dasar utama dari hukum Islam tadi ( Alquran dan Sunah,) maka ada cara lain yang bisa menjadi sumber hukum dalam Islam yaitu Ijtihad. Ijtihad ini mencakup beberapa macam cara yaitu : ijtima’, qiyas, istihsan, isthshab, istidlal, maslahatul murshalah, urf, dan zara’i.[2]
Al-Qur’an.
Dari segi bahasa, Al-Quran berarti “yang dibaca” atau “bacaan”. Sedangkan, menurut istilah pengertian Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang berisi firman-firman Allah SWT, yang diwahyukan dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad dan membacanya bernilai ibadah. Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk/pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Sebagai pedoman hidup, isi/kandungan Al-Qur’an terbagi menjadi tiga pembahasan pokok yaitu akidah, ibadah, dan prinsip-prinsip syariat.[3]
Kedudukan Al-Qur’an kaitannya dengan sumber hukum Islam ialah sebagai sumber hukum yang pertama dan utama. Isi kandungan Al-Qur’an sangatlah lengkap. Meskipun serba ringkas, Al-Qur’an membicarakan beraneka ragam kehidupan baik yang berhubungan dengan kehidupan dunia maupun akhirat.[4]
Al-Hadits
Menurut bahasa hadits adalah jadid, yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat. Hadits juga berarti khabar, artinya berita, yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Selain itu, hadits juga berarti qarib, artinya dekat, tidak lama lagi terjadi.
Menurut ahli hadits, pengertian hadits adalah “Seluruh perkataan, perbuatan, dan hal ihwal tentang Nabi Muhammad SAW”, sedangkan menurut yang lainnya adalah “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuataan, maupun ketetapannya.”
Adapun menurut muhadditsin, hadits itu adalah “Segala apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik itu hadits marfu’(yang disandarkan kepada Nabi), hadits mauquf (yang disandarkan kepada sahabat) ataupun hadits maqthu’ (yang disandarkan kepada tabi’in).[5]
Al-Hadis adalah sumber hukum kedua dalam Islam. Sebagai sumber hukum Islam, al-Hadis mempunyai peranan penting setelah Al-Quran. Al-Quran sebagai kitab suci dan pedoman hidup umat Islam diturunkan pada umumnya dalam kata-kata yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih lanjut, agar dapat dipahami dan diamalkan.
Ada tiga fungsi atau peranan al-Hadis disamping al-Quran sebagai sumber agama dan ajaran Islam, yakni sebagai berikut :
1.      Menegaskan lebih lanjut ketentuan yang terdapat dalam al-Quran. Misalnya dalam Al-Quran terdapat ayat tentang sholat tetapi mengenai tata cara pelaksanaannya dijelaskan oleh Nabi.
2.      Sebagai penjelasan isi Al-Quran. Di dalam Al-Quran Allah memerintahkan manusia mendirikan shalat. Namun di dalam kitab suci tidak dijelaskan banyaknya raka’at, cara rukun dan syarat mendirikan shalat. Nabilah yang menyebut sambil mencontohkan jumlah raka’at setiap shalat, cara, rukun dan syarat mendirikan shalat.
3.      Menambahkan atau mengembangkan sesuatu yang tidak ada atau samar-samar ketentuannya di dalam Al-Quran. Sebagai contoh larangan Nabi mengawini seorang perempuan dengan bibinya. Larangan ini tidak terdapat dalam larangan-larangan perkawinan di surat An-Nisa (4) : 23.[6]
Hadits menurut jumlah sanadnya dibagi menjadi dua jenis yaitu mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir ialah hadits yang memiliki jalan periwayatan yang banyak dan tidak dibatasi jumlah tertentu. Menurut pengertian lain hadits mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang, dan menurut kebiasaan tidak mungkin mereka sepakat berbohong. Maksudnya hadits atau khabar mutawatir ini adalah hadits yang diriwayatkan di setiap tingkatan sanad (jalur periwayatan hadits) oleh banyak sekali periwayat hadits (rawi), hingga secara akal tidak ada kemungkinan seluruh rawi tersebut bersepakat dalam membuat-buat atau memalsukan hadits tersebut.
Hadits mutawatir tak terwujud kecuali memenuhi syarat-syarat berikut ini:
1.      Diriwayatkan oleh sejumlah besar orang. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah batas minimalnya.
2.      Jumlah yang banyak ini terdapat di setiap tingkatan sanad (jalur periwayatan hadits).
3.      Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka sepakat berbohong. Misalnya karena rawi-rawi tersebut berasal dari negeri yang berbeda, bangsa yang berbeda, atau madzhab yang berbeda.
4.      Penyandarannya melalui panca indra, misal ‘kami dengar’, ‘kami lihat’, dan yang semisalnya. Jika penyandarannya melalui perenungan, mimpi atau yang semisalnya, ia tidak dianggap mutawatir.[7]
Adapun hadits ahad secara bahasa adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi saja. Adapun secara istilah, ialah mencakup seluruh hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir. Oleh karena itu hadits ahad dalam definisi ini lebih luas dan mencakup kategori:
1.      Hadits masyhur, hadits yang diriwayatkan oleh tiga perawi dalam tiap thabaqat (generasi perawi), atau lebih dari tiga selama tidak mencapai derajat bilangan perawi mutawatir.
2.      Hadits aziz, hadits yaitu diriwayatkan oleh dua orang perawi dalam tiap thabaqat.
3.      Hadits gharib, hadits yaitu diriwayatkan oleh satu orang perawi.[8]
Adapun bila dilihat dari segi kualitasnya, hadits ahad terbagi menjadi tiga tingkatan.
1.      Hadits Shahih, merupakan hadits yang sanadnya tidak terputus dari awal sampai akhir dan diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan teliti. Periwayatan hadits tersebut juga juga tidak ada keganjilan dan kecacatan. Hadits shahih dapat dijadikan sebagai hujjah.[9] Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai ijma’ para uluma hadits dan sebagian ulama ushul dan fikih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.
2.      Hadits hasan, Secara bahasa, hasan berarti al-jamal, yaitu indah. Hasan juga dapat juga berarti sesuatu sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadits hasan karena melihat bahwa ia merupakan pertengahan antara hadits shahih dan hadits dha’if, dan juga karena sebagian ulama mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya.
Definisi Tirmidzi: yaitu semua hadits yang diriwayatkan, dimana dalam sanadnya tidak ada yang dituduh berdusta, serta tidak ada syadz (kejanggalan), dan diriwatkan dari selain jalan sepereti demikian, maka dia menurut kami adalah hadits hasan.
Definisi Ibnu Hajar: beliau berkata, hadits ahad yang diriwayatkan oleh yang adil, sempurna ke-dhabit-annya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz (janggal) maka dia adalah hadits shahih li-dzatihi, lalu jika ringan ke-dhabit-annya maka dia adalah hadits hasan li dszatihi.
Kriteria hadits hasan sama dengan kriteria hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabit-annya. yaitu hadits shahih lebih sempurna ke-dhabit-annya dibandingkan dengan hadits hasan. Tetapi jika dibandingkan dengan ke-dhabit-an perawi hadits dha’if tentu belum seimbang, ke-dhabit-an perawi hadits hasan lebih unggul.[10]
3.      Hadits dha’if, Definisi Hadits dhaif menurut Imam Al-Baiquni adalah:  "Setiap hadis yang tingkatannya berada dibawah hadits hasan (tidak memenuhi syarat sebagai hadis shahih maupun hasan) maka disebut hadits dho'if dan hadis (seperti) ini banyak sekali ragamnya."
Suatu hadits dikategorikan lemah disebabkan oleh:
·         Terputusnya rantai periwayatan (sanad)
·         Adanya kelemahan/cacat pada seorang atau beberapa orang penyampai riwayat (perawi) hadis tersebut.
Terdapat berbagai tingkatan derajat hadis lemah, mulai dari yang lemahnya ringan hingga yang parah bahkan palsu. Ibnu Hibban telah membagi hadits dhaif menjadi 49 (empat puluh sembilan) jenis.[1] Di antara macam-macam tingkatan hadis yang dikategorikan lemah, seperti:
a)   Mursal: Hadis yang disebutkan oleh Tabi'in langsung dari Rasulullah S.A.W tanpa menyebutkan siapa shahabat yang melihat atau mendengar langsung dari Rasul. Digolongkan sebagai hadis lemah karena dimungkinkan adanya Tabi'in lain yang masuk dalam jalur riwayatnya (namun tidak disebutkan). Jika dapat dipastikan perawi (periwayat) yang tidak disebutkan tersebut adalah seorang shahabat maka tidak tergolong sebagai hadis lemah.
b)  Mu'dhol: Hadis yang dalam sanadnya ada dua orang rawi atau lebih yang tidak dicantumkan secara berurut.
c)   Munqathi (terputus): Semua hadis yang sanadnya tidak bersambung tanpa melihat letak dan keadaan putusnya sanad. Setiap hadis Mu'dhal adalah Munqathi, namun tidak sebaliknya.
d)    Mudallas: Seseorang yang meriwayatkan dari rawi fulan sementara hadis tersebut tidak didengarnya langsung dari rawi fulan tersebut, namun ia tutupi hal ini sehingga terkesan seolah ia mendengarnya langsung dari rawi fulan. Hadis mudallas ada dua macam, yaitu Tadlis Isnad (menyembunyikan sanad) dan tadlis Syuyukh (menyembunyikan personal).
e)      Mu'an'an: Hadis yang dalam sanadnya menggunakan lafal fulan 'an fulan (riwayat seseorang dari seseorang).
f)       Mudhtharib (guncang): Hadis yang diriwayatkan melalui banyak jalur dan sama-sama kuat, masing-masingnya dengan lafal yang berlainan/bertentangan (serta tidak bisa diambil jalan tengah).
g)      Syadz (ganjil): Hadis yang menyelisihi riwayat dari orang-orang yang tsiqah (terpercaya). Atau didefinisikan sebagai hadis yang hanya diriwayatkan melalui satu jalur namun perawinya tersebut kurang terpercaya jika ia bersendiri dalam meriwayatkan hadis.
h)      Munkar: Hadis yang diriwayatkan oleh perawi kategori lemah yang menyelisihi periwayatan rawi-rawi yang tsiqah.
i)        Matruk: Hadis yang di dalam sanadnya ada perawi yang tertuduh berdusta.
j)        Maudhu'(Hadis palsu): Hadis yang dipalsukan atas nama Nabi, di dalam rawinya ada rawi yang diketahui sering melakukan kedustaan dan pemalsuan.
k)      Bathil: Sejenis Hadis palsu yang (jelas-jelas) menyelisihi prinsip-prinsip syariah.
l)        Mudraj: Perkataan yang diucapkan oleh selain Nabi yang ditulis bergandengan dengan Hadits Nabi. Sehingga dapat dikira sebagai bagian dari hadis. Umumnya berasal dari perawi hadisnya, baik itu sahabat ataupun yang dibawahnya, diucapkan untuk menafsirkan, menjelaskan atau melengkapi maksud kata tertentu dalam lafal hadis.[11]
hadits dho’if tidak boleh dijadikan sandaran hukum karena periwayat hadits dho’if termasuk orang yang fasik.[12]
Ijtihad
Ijtihad menurut bahasa adalah bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran. sedangkan menurut istilah syara’ ijtihad adalah mencurahkan seluruh kemmpuan dan pikiran dengan sungguh-sungguh dalam menetapkan hukum syariat dengan cara-cara tertentu. Ijtihad merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al-qur’an dan hadis,  yang berfungsi untuk menetapkan suatu hukum  apabila hukum tersebut tidak dibahas didalam Al-Qur’an dan hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan yang matang. orang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid. Orang yang melakukan ijtihad (mujtahid) harus benar-benar orang yang taat  dan memahami  betul isi Al-Qur’an dan hadis. Berikut syarat-syarat menjadi seorang mujtahid.
Syarat-Syarat Menjadi Ijtihad (Mujtahid)
a)      Seorang Mujtahid harus mengetahui betul ayat dan sunnah yang berhubungan dengan  hukum.
b)      Seorang Mujtahid harus mengetahui masalah-masalah yang telah di ijma’kan oleh para ahlinya
c)      Seorang Mujtahid harus mengetahui bahasa arab dan ilmu-ilmunya dengan sempurna.
d)     Seorang Mujtahid harus mengetahui nasikh dan mansukh.
e)      Seorang Mujtahid harus mengetahui ushul fiqh
f)       Seorang Mujtahid harus  mengetahui dengan jelas rahasia-rahasia tasyrie'.
g)      Seorang Mujtahid harus menghetahui kaidah-kaidah ushul fiqh
h)      Seorang Mujtahid harus mengetahui seluk beluk qiyas.
Ijtihad berfungsi untuk menetapkan suatu hukum  yang hukum tersebut tidak ditemukan dalilnya didalam Al-Qur’an dan hadis. Sedangkan kalau masalah-masalah yang ada dalilnya didalam Al-Qur’an dan hadis maka tidak boleh diijtihadkan lagi.
Macam-Macam Ijtihad meliputi
a)      Ijma'
Ijma’ ialah kesepakatan hukum yang diambil dari fatwa atau musyawarah para Ulama tentang suatu perkara yang tidak ditemukan hukumnya didalam Al qur'an ataupun hadis. Tetapi rujukannya pasti ada didalam Al-qur’an dan hadis. ijma’ pada masa sekarang itu diambil dari keputusan-keputusan ulama Islam seperti MUI. Contohnya hukum mengkonsumsi ganja atau sabu-sabu adalah haram, karena dapat memabukkan dan berbahaya bagi tubuh serta merusak pikiran. 
b)      Qiyas
Qiyas adalah menyamakan yaitu menetapkan suatu hukum dalam suatu perkara baru yang belum pernah masa sebelumnya namun memiliki kesamaan seperti sebab, manfaat, bahaya atau  berbagai aspek dalam perkara sebelumnya sehingga dihukumi sama. Contohnya seperti pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan “ah” kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan dan menghina, sedangkan memukul orang tua tidak disebutkan. Jadi diqiyaskan oleh para ulama bahwa hukum memukul dan memarahi orang tua sama dengan hukum mengatakan Ah yaitu sama-sama menyakiti hati orang tua dan sama-sama berdausa.
c)      Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah ialah suatu cara menetapkan hukum  berdasarkan atas pertimbangan kegunaan dan manfaatnya.  Contohnya: di dalam Al Quran ataupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
d)     Saddu adzari’ah
Saddu adzari’ah  adalah memutuskan suatu perkara yang mubah makruh atau haram demi kepentingan umat.
e)      Istishab
Istishab adalah  tindakan dalam menetapkan suatu ketetapan sampai ada alasan yang mengubahnya. Contohnya:  seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu ataupun belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang/ yakin kepada keadaan sebelum ia berwudhu’,  sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
f)       ‘Uruf
‘Uruf  yaitu suatu tindakan dalam menentukan suatu perkara berdasarkan adat istiadat yang berlaku dimasayarakat dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis. Contohnya : dalam hal jual beli.  Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang ia beli dengan tidak mengadakan ijab Kabul, karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.
g)      Istihsan
Istihsan yaitu suatu tindakan dengan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya, disebabkan adanya suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Contohnya: didalam syara’, kita dilarang untuk mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syara’ memberikan rukhsah yaitu kemudahan atau keringanan, bahwa jual beli diperbolehkan dengan sistem pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.[13]
Berdasarkan uraian di atas sumber hukum Islam dibagi menjadi tiga yakni Al-Qur’an, Al-Hadits, dan Hasil Ijtihad.


[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Sumber-sumber_hukum_Islam
[2] https://dalamislam.com/landasan-agama/dasar-hukum-islam
[3] http://pengertianahli.id/2014/02/pengertian-al-quran.html
[4] Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Al-Islam dan Kemuhammadiyahan untuk SMA/MA dan SMK/MAK Muhammadiyah Kelas X semester 1, (Yogyakarta: Mentari Pustaka, 2008), h. 66.
[5] http://irvansyahfa.blogspot.com/2013/03/pengertian-dan-fungsi-al-quran-dan.html
[6] http://chalouiss.blogspot.com/2012/09/al-hadis-arti-dan-fungsinya.html
[7] https://www.abufurqan.net/hadits-mutawatir-dan-hadits-ahad/
[8] https://muslim.or.id/25580-hadits-ahad-hujjah-dalam-aqidah.html
[9] Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Al-Islam dan Kemuhammadiyahan untuk SMA/MA dan SMK/MAK Muhammadiyah Kelas X semester 1, (Yogyakarta: Mentari Pustaka, 2008), h. 68
[10] http://www.konsultasislam.com/2011/03/apa-itu-hadits-shahih-hasan-dan-dhaif.html
[11] https://id.wikipedia.org/wiki/Hadits_Dha%27if
[12] https://rumaysho.com/942-hadits-dhoif-bolehkah-dijadikan-sandaran-hukum.html
[13] http://www.akidahislam.com/2016/11/pengertian-fungsi-dan-macam-macam_20.html