Islam adalah hadiah dari Allah kepada jin dan
manusia sebagi wujud dari kasih sayangnya. Barang siapa yang memilih Islam
sebagai agamanya niscaya hidupnya akan bahagia dan selamat dunia akhirat.
Allah memerintahkan umat Islam agar memeluk Islam
secara kaffah agar selamat dari fitnah dunia maupun akhirat. Konsekuensi dari memeluk
Islam secara kaffah adalah dengan melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan
menjauhi segala bentuk larangan Allah. Agar bisa menjalankan ajaran Islam
secara menyeluruh umat Islam haruslah memiliki pengetahuan yang luas dan
mendalam terkait perintah maupun larangan dalam Islam. Pengetahuan ajaran Islam
yang shohih terutama menyangkut perintah dan larangan terdapat pada dalil syar’i
atau sumber hukum Islam.
Sumber-sumber hukum Islam (Arab: الأدلة الشرعية الإسلامية, translit. al-adillah
al-syar’iyyah al-islāmiyyah), atau dalil
syar'i, adalah rujukan pengambilan keputusan untuk menghukumi suatu perbuatan
(misal, wajib) dalam syariat Islam dengan cara yang dibenarkan.[1]
Alquran dan Sunnah adalah 2 dasar utama dari
sumber syariat Islam itu sendiri. Sesuai berkembangnya zaman, waktu pun
berlalu, maka permasalahan umat pun semakin complicated. makanan halal, minuman
halal dalam Islam, makanan haram menurut Islam, hukum pernikahan, dan fiqih
muamalah jual beli dalam Islam sudah berkembang dan semakin komplit. Hal
tersebut tidak dijelaskan dalam kedua sumber tersebut secara jelas dan
gamblang. Melihat kasus ini maka perlu adanya peranan para ulama untuk mengkaji
lebih dalam makna yang tersimpan dalam Alquran sebagai cara mencari jalan
keluar dari hukum Islam.
Selain dua dasar utama dari hukum Islam tadi (
Alquran dan Sunah,) maka ada cara lain yang bisa menjadi sumber hukum dalam Islam
yaitu Ijtihad. Ijtihad ini mencakup beberapa macam cara yaitu : ijtima’, qiyas,
istihsan, isthshab, istidlal, maslahatul murshalah, urf, dan zara’i.[2]
Al-Qur’an.
Dari segi bahasa, Al-Quran berarti “yang
dibaca” atau “bacaan”. Sedangkan, menurut istilah pengertian Al-Qur’an adalah
kitab suci umat Islam yang berisi firman-firman Allah SWT, yang diwahyukan
dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad dan membacanya bernilai ibadah.
Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk/pedoman bagi umat manusia dalam mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Sebagai pedoman hidup, isi/kandungan
Al-Qur’an terbagi menjadi tiga pembahasan pokok yaitu akidah, ibadah, dan
prinsip-prinsip syariat.[3]
Kedudukan Al-Qur’an kaitannya dengan sumber
hukum Islam ialah sebagai sumber hukum yang pertama dan utama. Isi kandungan
Al-Qur’an sangatlah lengkap. Meskipun serba ringkas, Al-Qur’an membicarakan
beraneka ragam kehidupan baik yang berhubungan dengan kehidupan dunia maupun
akhirat.[4]
Al-Hadits
Menurut bahasa hadits adalah jadid, yaitu
sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat.
Hadits juga berarti khabar, artinya berita, yaitu sesuatu yang diberitakan,
diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Selain itu,
hadits juga berarti qarib, artinya dekat, tidak lama lagi terjadi.
Menurut ahli hadits, pengertian hadits adalah
“Seluruh perkataan, perbuatan, dan hal ihwal tentang Nabi Muhammad SAW”,
sedangkan menurut yang lainnya adalah “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi,
baik berupa perkataan, perbuataan, maupun ketetapannya.”
Adapun menurut muhadditsin, hadits itu adalah
“Segala apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik itu hadits
marfu’(yang disandarkan kepada Nabi), hadits mauquf (yang disandarkan kepada
sahabat) ataupun hadits maqthu’ (yang disandarkan kepada tabi’in).[5]
Al-Hadis adalah sumber hukum kedua dalam Islam.
Sebagai sumber hukum Islam, al-Hadis mempunyai peranan penting setelah
Al-Quran. Al-Quran sebagai kitab suci dan pedoman hidup umat Islam diturunkan
pada umumnya dalam kata-kata yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih lanjut,
agar dapat dipahami dan diamalkan.
Ada tiga fungsi atau peranan al-Hadis disamping
al-Quran sebagai sumber agama dan ajaran Islam, yakni sebagai berikut :
1.
Menegaskan lebih lanjut ketentuan yang terdapat
dalam al-Quran. Misalnya dalam Al-Quran terdapat ayat tentang sholat tetapi
mengenai tata cara pelaksanaannya dijelaskan oleh Nabi.
2.
Sebagai penjelasan isi Al-Quran. Di dalam
Al-Quran Allah memerintahkan manusia mendirikan shalat. Namun di dalam kitab
suci tidak dijelaskan banyaknya raka’at, cara rukun dan syarat mendirikan
shalat. Nabilah yang menyebut sambil mencontohkan jumlah raka’at setiap shalat,
cara, rukun dan syarat mendirikan shalat.
3.
Menambahkan atau mengembangkan sesuatu yang
tidak ada atau samar-samar ketentuannya di dalam Al-Quran. Sebagai contoh
larangan Nabi mengawini seorang perempuan dengan bibinya. Larangan ini tidak
terdapat dalam larangan-larangan perkawinan di surat An-Nisa (4) : 23.[6]
Hadits menurut jumlah sanadnya dibagi menjadi
dua jenis yaitu mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir ialah hadits yang memiliki
jalan periwayatan yang banyak dan tidak dibatasi jumlah tertentu. Menurut pengertian
lain hadits mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang,
dan menurut kebiasaan tidak mungkin mereka sepakat berbohong. Maksudnya hadits
atau khabar mutawatir ini adalah hadits yang diriwayatkan di setiap tingkatan
sanad (jalur periwayatan hadits) oleh banyak sekali periwayat hadits (rawi), hingga
secara akal tidak ada kemungkinan seluruh rawi tersebut bersepakat dalam
membuat-buat atau memalsukan hadits tersebut.
Hadits mutawatir tak terwujud kecuali memenuhi
syarat-syarat berikut ini:
1.
Diriwayatkan oleh sejumlah besar orang. Ulama
berbeda pendapat tentang jumlah batas minimalnya.
2.
Jumlah yang banyak ini terdapat di setiap
tingkatan sanad (jalur periwayatan hadits).
3.
Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka sepakat
berbohong. Misalnya karena rawi-rawi tersebut berasal dari negeri yang berbeda,
bangsa yang berbeda, atau madzhab yang berbeda.
4.
Penyandarannya melalui panca indra, misal ‘kami
dengar’, ‘kami lihat’, dan yang semisalnya. Jika penyandarannya melalui
perenungan, mimpi atau yang semisalnya, ia tidak dianggap mutawatir.[7]
Adapun hadits ahad secara bahasa adalah hadits
yang diriwayatkan oleh seorang perawi saja. Adapun secara istilah, ialah
mencakup seluruh hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir. Oleh karena itu
hadits ahad dalam definisi ini lebih luas dan mencakup kategori:
1.
Hadits masyhur, hadits yang diriwayatkan oleh
tiga perawi dalam tiap thabaqat (generasi perawi), atau lebih dari tiga selama
tidak mencapai derajat bilangan perawi mutawatir.
2.
Hadits aziz, hadits yaitu diriwayatkan oleh dua
orang perawi dalam tiap thabaqat.
3.
Hadits gharib, hadits yaitu diriwayatkan oleh
satu orang perawi.[8]
Adapun bila
dilihat dari segi kualitasnya, hadits ahad terbagi menjadi tiga tingkatan.
1.
Hadits Shahih, merupakan hadits yang sanadnya
tidak terputus dari awal sampai akhir dan diriwayatkan oleh orang-orang yang
adil dan teliti. Periwayatan hadits tersebut juga juga tidak ada keganjilan dan
kecacatan. Hadits shahih dapat dijadikan sebagai hujjah.[9] Hadits
yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih wajib diamalkan sebagai hujah
atau dalil syara’ sesuai ijma’ para uluma hadits dan sebagian ulama ushul dan
fikih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan
halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.
2.
Hadits hasan, Secara bahasa, hasan berarti
al-jamal, yaitu indah. Hasan juga dapat juga berarti sesuatu sesuatu yang
disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan para ulama berbeda pendapat
dalam mendefinisikan hadits hasan karena melihat bahwa ia merupakan pertengahan
antara hadits shahih dan hadits dha’if, dan juga karena sebagian ulama
mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya.
Definisi Tirmidzi: yaitu semua
hadits yang diriwayatkan, dimana dalam sanadnya tidak ada yang dituduh
berdusta, serta tidak ada syadz (kejanggalan), dan diriwatkan dari selain jalan
sepereti demikian, maka dia menurut kami adalah hadits hasan.
Definisi Ibnu Hajar: beliau berkata,
hadits ahad yang diriwayatkan oleh yang adil, sempurna ke-dhabit-annya, bersambung
sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz (janggal) maka dia adalah hadits shahih
li-dzatihi, lalu jika ringan ke-dhabit-annya maka dia adalah hadits hasan li
dszatihi.
Kriteria hadits hasan sama dengan
kriteria hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabit-annya.
yaitu hadits shahih lebih sempurna ke-dhabit-annya dibandingkan dengan hadits
hasan. Tetapi jika dibandingkan dengan ke-dhabit-an perawi hadits dha’if tentu
belum seimbang, ke-dhabit-an perawi hadits hasan lebih unggul.[10]
3.
Hadits dha’if, Definisi Hadits dhaif menurut
Imam Al-Baiquni adalah: "Setiap
hadis yang tingkatannya berada dibawah hadits hasan (tidak memenuhi syarat
sebagai hadis shahih maupun hasan) maka disebut hadits dho'if dan hadis
(seperti) ini banyak sekali ragamnya."
Suatu hadits dikategorikan lemah disebabkan oleh:
·
Terputusnya rantai periwayatan (sanad)
·
Adanya kelemahan/cacat pada seorang atau
beberapa orang penyampai riwayat (perawi) hadis tersebut.
Terdapat berbagai tingkatan derajat hadis
lemah, mulai dari yang lemahnya ringan hingga yang parah bahkan palsu. Ibnu
Hibban telah membagi hadits dhaif menjadi 49 (empat puluh sembilan) jenis.[1]
Di antara macam-macam tingkatan hadis yang dikategorikan lemah, seperti:
a) Mursal: Hadis yang disebutkan oleh Tabi'in langsung
dari Rasulullah S.A.W tanpa menyebutkan siapa shahabat yang melihat atau
mendengar langsung dari Rasul. Digolongkan sebagai hadis lemah karena
dimungkinkan adanya Tabi'in lain yang masuk dalam jalur riwayatnya (namun tidak
disebutkan). Jika dapat dipastikan perawi (periwayat) yang tidak disebutkan
tersebut adalah seorang shahabat maka tidak tergolong sebagai hadis lemah.
b) Mu'dhol: Hadis yang dalam sanadnya ada dua
orang rawi atau lebih yang tidak dicantumkan secara berurut.
c) Munqathi (terputus): Semua hadis yang sanadnya
tidak bersambung tanpa melihat letak dan keadaan putusnya sanad. Setiap hadis
Mu'dhal adalah Munqathi, namun tidak sebaliknya.
d) Mudallas: Seseorang yang meriwayatkan dari rawi
fulan sementara hadis tersebut tidak didengarnya langsung dari rawi fulan
tersebut, namun ia tutupi hal ini sehingga terkesan seolah ia mendengarnya
langsung dari rawi fulan. Hadis mudallas ada dua macam, yaitu Tadlis Isnad
(menyembunyikan sanad) dan tadlis Syuyukh (menyembunyikan personal).
e)
Mu'an'an: Hadis yang dalam sanadnya menggunakan
lafal fulan 'an fulan (riwayat seseorang dari seseorang).
f)
Mudhtharib (guncang): Hadis yang diriwayatkan
melalui banyak jalur dan sama-sama kuat, masing-masingnya dengan lafal yang
berlainan/bertentangan (serta tidak bisa diambil jalan tengah).
g)
Syadz (ganjil): Hadis yang menyelisihi riwayat
dari orang-orang yang tsiqah (terpercaya). Atau didefinisikan sebagai hadis
yang hanya diriwayatkan melalui satu jalur namun perawinya tersebut kurang
terpercaya jika ia bersendiri dalam meriwayatkan hadis.
h)
Munkar: Hadis yang diriwayatkan oleh perawi
kategori lemah yang menyelisihi periwayatan rawi-rawi yang tsiqah.
i)
Matruk: Hadis yang di dalam sanadnya ada perawi
yang tertuduh berdusta.
j)
Maudhu'(Hadis palsu): Hadis yang dipalsukan
atas nama Nabi, di dalam rawinya ada rawi yang diketahui sering melakukan
kedustaan dan pemalsuan.
k)
Bathil: Sejenis Hadis palsu yang (jelas-jelas)
menyelisihi prinsip-prinsip syariah.
l)
Mudraj: Perkataan yang diucapkan oleh selain Nabi
yang ditulis bergandengan dengan Hadits Nabi. Sehingga dapat dikira sebagai
bagian dari hadis. Umumnya berasal dari perawi hadisnya, baik itu sahabat
ataupun yang dibawahnya, diucapkan untuk menafsirkan, menjelaskan atau
melengkapi maksud kata tertentu dalam lafal hadis.[11]
hadits
dho’if tidak boleh dijadikan sandaran hukum karena periwayat hadits dho’if
termasuk orang yang fasik.[12]
Ijtihad
Ijtihad menurut bahasa adalah
bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran. sedangkan menurut istilah syara’
ijtihad adalah mencurahkan seluruh kemmpuan dan pikiran dengan sungguh-sungguh
dalam menetapkan hukum syariat dengan cara-cara tertentu. Ijtihad merupakan
sumber hukum yang ketiga setelah Al-qur’an dan hadis, yang berfungsi untuk menetapkan suatu hukum apabila hukum tersebut tidak dibahas didalam
Al-Qur’an dan hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan yang
matang. orang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid. Orang yang
melakukan ijtihad (mujtahid) harus benar-benar orang yang taat dan memahami
betul isi Al-Qur’an dan hadis. Berikut syarat-syarat menjadi seorang
mujtahid.
Syarat-Syarat
Menjadi Ijtihad (Mujtahid)
a)
Seorang Mujtahid harus mengetahui betul ayat
dan sunnah yang berhubungan dengan
hukum.
b)
Seorang Mujtahid harus mengetahui
masalah-masalah yang telah di ijma’kan oleh para ahlinya
c)
Seorang Mujtahid harus mengetahui bahasa arab
dan ilmu-ilmunya dengan sempurna.
d)
Seorang Mujtahid harus mengetahui nasikh dan
mansukh.
e)
Seorang Mujtahid harus mengetahui ushul fiqh
f)
Seorang Mujtahid harus mengetahui dengan jelas rahasia-rahasia
tasyrie'.
g)
Seorang Mujtahid harus menghetahui
kaidah-kaidah ushul fiqh
h)
Seorang Mujtahid harus mengetahui seluk beluk
qiyas.
Ijtihad berfungsi untuk menetapkan suatu
hukum yang hukum tersebut tidak
ditemukan dalilnya didalam Al-Qur’an dan hadis. Sedangkan kalau masalah-masalah
yang ada dalilnya didalam Al-Qur’an dan hadis maka tidak boleh diijtihadkan
lagi.
Macam-Macam Ijtihad meliputi
a)
Ijma'
Ijma’ ialah kesepakatan hukum yang
diambil dari fatwa atau musyawarah para Ulama tentang suatu perkara yang tidak
ditemukan hukumnya didalam Al qur'an ataupun hadis. Tetapi rujukannya pasti ada
didalam Al-qur’an dan hadis. ijma’ pada masa sekarang itu diambil dari keputusan-keputusan
ulama Islam seperti MUI. Contohnya hukum mengkonsumsi ganja atau sabu-sabu
adalah haram, karena dapat memabukkan dan berbahaya bagi tubuh serta merusak
pikiran.
b)
Qiyas
Qiyas adalah menyamakan yaitu
menetapkan suatu hukum dalam suatu perkara baru yang belum pernah masa
sebelumnya namun memiliki kesamaan seperti sebab, manfaat, bahaya atau berbagai aspek dalam perkara sebelumnya
sehingga dihukumi sama. Contohnya seperti pada surat Al isra ayat 23 dikatakan
bahwa perkataan “ah” kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap
meremehkan dan menghina, sedangkan memukul orang tua tidak disebutkan. Jadi
diqiyaskan oleh para ulama bahwa hukum memukul dan memarahi orang tua sama
dengan hukum mengatakan Ah yaitu sama-sama menyakiti hati orang tua dan
sama-sama berdausa.
c)
Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah ialah suatu cara
menetapkan hukum berdasarkan atas
pertimbangan kegunaan dan manfaatnya.
Contohnya: di dalam Al Quran ataupun Hadist tidak terdapat dalil yang
memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini
dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
d)
Saddu adzari’ah
Saddu adzari’ah
adalah memutuskan suatu perkara yang mubah makruh atau haram demi
kepentingan umat.
e)
Istishab
Istishab adalah tindakan dalam menetapkan suatu ketetapan
sampai ada alasan yang mengubahnya. Contohnya:
seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu ataupun belum. Di saat
seperti ini, ia harus berpegang/ yakin kepada keadaan sebelum ia berwudhu’, sehingga ia harus berwudhu kembali karena
shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
f)
‘Uruf
‘Uruf yaitu suatu tindakan dalam menentukan suatu
perkara berdasarkan adat istiadat yang berlaku dimasayarakat dan tidak
bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis. Contohnya : dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai
pembayaran atas barang yang ia beli dengan tidak mengadakan ijab Kabul, karena
harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.
g)
Istihsan
Istihsan yaitu suatu tindakan dengan
meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya, disebabkan adanya suatu dalil
syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Contohnya: didalam syara’, kita
dilarang untuk mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad.
Akan tetapi menurut Istihsan, syara’ memberikan rukhsah yaitu kemudahan atau
keringanan, bahwa jual beli diperbolehkan dengan sistem pembayaran di awal,
sedangkan barangnya dikirim kemudian.[13]
Berdasarkan uraian di atas sumber
hukum Islam dibagi menjadi tiga yakni Al-Qur’an, Al-Hadits, dan Hasil Ijtihad.
[1]
https://id.wikipedia.org/wiki/Sumber-sumber_hukum_Islam
[2]
https://dalamislam.com/landasan-agama/dasar-hukum-islam
[3]
http://pengertianahli.id/2014/02/pengertian-al-quran.html
[4]
Majelis Pendidikan Dasar dan
Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Al-Islam dan Kemuhammadiyahan untuk SMA/MA
dan SMK/MAK Muhammadiyah Kelas X semester 1, (Yogyakarta: Mentari Pustaka,
2008), h. 66.
[5]
http://irvansyahfa.blogspot.com/2013/03/pengertian-dan-fungsi-al-quran-dan.html
[6]
http://chalouiss.blogspot.com/2012/09/al-hadis-arti-dan-fungsinya.html
[7]
https://www.abufurqan.net/hadits-mutawatir-dan-hadits-ahad/
[8]
https://muslim.or.id/25580-hadits-ahad-hujjah-dalam-aqidah.html
[9]
Majelis Pendidikan Dasar dan
Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Al-Islam dan Kemuhammadiyahan untuk SMA/MA
dan SMK/MAK Muhammadiyah Kelas X semester 1, (Yogyakarta: Mentari Pustaka,
2008), h. 68
[10]
http://www.konsultasislam.com/2011/03/apa-itu-hadits-shahih-hasan-dan-dhaif.html
[11]
https://id.wikipedia.org/wiki/Hadits_Dha%27if
[12]
https://rumaysho.com/942-hadits-dhoif-bolehkah-dijadikan-sandaran-hukum.html
[13]
http://www.akidahislam.com/2016/11/pengertian-fungsi-dan-macam-macam_20.html