Sahabat –Al Faruq- Umar bin
Khaththab radhiyallahu ’anhu berkata,”Saya mendengar Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam bersabda,’Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya. Dan
setiap orang akan mendapatkan yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah kepada
Allah dan Rasul-Nya, maka ia telah berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan
barangsiapa yang hijrahnya itu karena kesenangan dunia atau karena seorang
wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya’.”
(HR. Bukhari & Muslim). Inilah hadits yang menunjukkan bahwa amal seseorang
akan dibalas atau diterima tergantung dari niatnya.
Setiap Orang Pasti Berniat Tatkala Melakukan Amal
Niat adalah amalan hati dan hanya
Allah Ta’ala yang mengetahuinya. Niat itu tempatnya di dalam hati dan bukanlah
di lisan, hal ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama sebagaimana yang
dinukil oleh Ahmad bin Abdul Harim Abul Abbas Al Haroni dalam Majmu’ Fatawanya.
Setiap orang yang melakukan suatu
amalan pasti telah memiliki niat terlebih dahulu. Karena tidak mungkin orang
yang berakal yang punya ikhtiar (pilihan) melakukan suatu amalan tanpa niat.
Seandainya seseorang disodorkan air kemudian dia membasuh kedua tangan,
berkumur-kumur hingga membasuh kaki, maka tidak masuk akal jika dia melakukan pekerjaan
tersebut -yaitu berwudhu- tanpa niat. Sehingga sebagian ulama
mengatakan,”Seandainya Allah membebani kita suatu amalan tanpa niat, niscaya
ini adalah pembebanan yang sulit dilakukan.”
Apabila setan membisikkan kepada
seseorang yang selalu merasa was-was dalam shalatnya sehingga dia mengulangi
shalatnya beberapa kali. Setan mengatakan kepadanya,”Hai manusia, kamu belum
berniat”. Maka ingatlah,”Tidak mungkin seseorang mengerjakan suatu amalan tanpa
niat. Tenangkanlah hatimu dan tinggalkanlah was-was seperti itu.”(Lihat Syarhul
Mumthi, I/128 dan Al Fawa’id Dzahabiyyah, hal.12)
Melafadzkan Niat
Masyarakat kita sudah sangat
akrab dengan melafalkan niat (maksudnya mengucapkan niat sambil bersuara keras
atau lirih) untuk ibadah-ibadah tertentu. Karena demikianlah yang banyak
diajarkan oleh ustadz-ustadz kita bahkan telah diajarkan di sekolah-sekolah
sejak Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi. Contohnya adalah tatkala hendak
shalat berniat ’Usholli fardhol Maghribi …’ atau pun tatkala hendak berwudhu berniat
’Nawaitu wudhu’a liraf’il hadatsi …’. Kalau kita melihat dari hadits di atas,
memang sangat tepat kalau setiap amalan harus diawali niat terlebih dahulu.
Namun apakah niat itu harus dilafalkan dengan suara keras atau lirih?!
Secara logika mungkin dapat kita
jawab. Bayangkan berapa banyak niat yang harus kita hafal untuk mengerjakan
shalat mulai dari shalat sunat sebelum shubuh, shalat fardhu shubuh, shalat
sunnah dhuha, shalat sunnah sebelum dzuhur, dst. Sangat banyak sekali niat yang
harus kita hafal karena harus dilafalkan. Karena ini pula banyak orang yang
meninggalkan amalan karena tidak mengetahui niatnya atau karena lupa. Ini
sungguh sangat menyusahkan kita. Padahal Nabi kita shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda,”Sesungguhnya agama itu mudah.” (HR. Bukhari)
Ingatlah setiap ibadah itu
bersifat tauqifiyyah, sudah paketan dan baku. Artinya setiap ibadah yang
dilakukan harus ada dalil dari Al Qur’an dan Hadits termasuk juga dalam masalah
niat.
Setelah kita lihat dalam buku
tuntunan shalat yang tersebar di masyarakat atau pun di sekolahan yang
mencantumkan lafadz-lafadz niat shalat, wudhu, dan berbagai ibadah lainnya,
tidaklah kita dapati mereka mencantumkan ayat atau riwayat hadits tentang niat
tersebut. Tidak terdapat dalam buku-buku tersebut yang menyatakan bahwa lafadz
niat ini adalah hadits riwayat Imam Bukhari dan sebagainya.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
mengatakan dalam kitab beliau Zaadul Ma’ad, I/201, ”Jika seseorang menunjukkan
pada kami satu hadits saja dari Rasul dan para sahabat tentang perkara ini
(mengucapkan niat), tentu kami akan menerimanya. Kami akan menerimanya dengan
lapang dada. Karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna dari petunjuk Nabi
dan sahabatnya. Dan tidak ada petunjuk yang patut diikuti kecuali petunjuk yang
disampaikan oleh pemilik syari’at yaitu Nabi shalallahu ’alaihi wa
sallam.” Dan sebelumnya beliau
mengatakan mengenai petunjuk Nabi dalam shalat,”Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam apabila hendak mendirikan shalat maka beliau mengucapkan : ‘Allahu
Akbar’. Dan beliau tidak mengatakan satu lafadz pun sebelum takbir dan tidak
pula melafadzkan niat sama sekali.”
Maka setiap orang yang
menganjurkan mengucapkan niat wudhu, shalat, puasa, haji, dsb, maka silakan
tunjukkan dalilnya. Jika memang ada dalil tentang niat tersebut, maka kami akan
ikuti. Dan janganlah berbuat suatu perkara baru dalam agama ini yang tidak ada
dasarnya dari Nabi. Karena Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,”
Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada dasar dari kami, maka amalan
tersebut tertolak. (HR. Muslim). Dan janganlah selalu beralasan dengan
mengatakan ’Niat kami kan baik’, karena
sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhuma mengatakan,”Betapa banyak orang
menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi, sanadnya
shahih, lihat Ilmu Ushul Bida’, hal. 92)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat wa
shallallahu ’ala Muhammad wa ’ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Tulisan sederhana di masa Islam, diterbitkan oleh Buletin
Dakwah At Tauhid
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel https://rumaysho.com
Baca Selengkapnya :
https://rumaysho.com/934-hukum-melafadzkan-niat-usholli-nawaitu-2.html