Showing posts with label filsafat. Show all posts
Showing posts with label filsafat. Show all posts

Monday, December 3, 2018

AKSIOLOGI: ETIKA DAN ESTETIKA.



A.    Pendahuluan
Manusia dalam hidupnya memiliki beragam kebutuhan dan keinginan. Manusia bisa mendapatkan apa yang dibutuhkan dengan ilmu, tanpa ilmu manusia akan kesulitan dalam mendapatkan apa yang dibutuhkan. Dengan demikian keberadaan ilmu dalam kehidupan manusia memiliki peran yang sangat penting.
Ilmu pengetahuan pada dasarnya sangat membantu manusia baik untuk memenuhi kebutuhannya maupun memajukan peradabannya. Hal itu membuktikan bahwa keberadaan ilmu sangat dibutuhkan untuk kesejahteraan umat manusia. Walaupun demikian, keberadaan ilmu pengetahuan tak selamanya menguntungkan manusia. Tragedi bom atom yang menghancurkan kota hiroshima dan nagasaki merupakan wujud dari efek negatif perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarah peradaban manusia. Kenyataan tersebut merupakan bukti bahwa perkembangan ilmu pengetahuan bisa merugikan manusia.
Ilmu pengetahuan pada dasarnya bersifat netral seperti halnya pisau. Pisau kalau digunakan untuk memotong sayuran maka pisau tersebut mendatangkan manfaat bagi manusia, tapi kalau digunakan untuk merampok atau menjambret maka akan merugikan manusia.
Kecenderungan positif maupun negatif dari ilmu penngetahuan sangat bergantung pada penggunanya, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan hanyalah alat. Oleh karena itu keberadaan nilai sebagai alat kontrol perilaku sangatlah dibutuhkan agar penggunaan ilmu pengetahuan sesuai dengan tujuan sebenarnya yaitu mensejahterakan manusia.
Salah satu cabang filsafat yang mengkaji tentang nilai terutama terkait manfaat ilmu pengetahuan bagi manusia disebut aksiologi. Tujuan penulisan artikel ini adalah menjelaskan definisi aksiologi, ruang lingkupnya serta kegunaanya.

B.     Pembahasan.
Pengertian Aksiologi.
Aksiologi secara bahasa berarti teori tentang nilai. Istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani dan merupakan gabungan dari dua kata, yakni axios dan logos. Axios berati nilai, sedangkan logos berarti teori. Oleh karena itu aksilogi didefinisikan sebagai teori tentang nilai.[1] Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.[2]
Menurut Jujun S Suriasumantri, aksiologi adalah teori nilai berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya.[3]
Berdasarkan definisi di atas, dapat ditarik simpulan bahwa aksiologi adalah ilmu yang menyelidiki penggunaan dan kegunaan dari suatu ilmu pengetahuan berdasarkan standar nilai.
Ruang Lingkup Aksiologi
Menurut informasi dari wikipedia, ruang lingkup aksiologi meliputi kaitan antara cara penggunaannya dengan kaidah-kaidah moral, penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral, kaitan metode ilmiah yang digunakan dengan norma-norma moral dan professional.[4] Obyek forma dalam studi aksiologi ada dua, yaitu etika dan estetika.[5]
1.      Etika
Etika merupakan salah satu cabang ilmu fisafat yang membahas moralitas nilai baik dan buruk, etika bisa di definisikan sebagai nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan manusia atau masyarakat yang mengatur tingkah lakunya. Etika berasal dari dua kata ethos yang berarti sifat, watak, kebiasaan, ethikos berarti susila, keadaban atau kelakuan dan perbuatan yang baik. Dalam istilah lain dinamakan moral yang berasal dari bahasa latin mores, jamak dari mos yang berarti adat, kebiasaan. Dalam bahasa arab disebut akhlaq yang berarti budi pekerti dan dalam bahasa Indonesia dinamakan tata susila.[6]
Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan. Kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia lain.[7]
Etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam kondisi normatif, yaitu kondisi yang melibatkan norma-norma. Dengan kata lain objek forma etika adalah norma-norma kesusilaan manusia.[8] Adapun objek materi dari etika adalah tingkah  laku  atau  perbuatan  manusia.[9] Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan sebagai sang pencipta.[10]
Etika memainkan peranan penting mengenai apa yang seharusnya atau terkait dengan apa yang baik dan tidak baik serta apa yang salah dan apa yang benar. Sehingga etika menjadi acuan atau panduan bagi ilmu pengetahuan dalam realisasi pengembangannya.[11]
Etika memang tidak dalam kawasan ilmu pengetahuan yang bersifat otonom, tetapi tidak dapat disangkal peranannya dalam perbincangan ilmu pengetahuan. Tanggung jawab etika, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan hal ini terjadi keharusan itu memperhatikan kodrat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum serta kepentingan generasi mendatang. Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan eksistensi manusia bukan menghancurkan eksistensi manusia.[12]
Seorang ilmuwan selaku pengguna dan pengembang ilmu harus memiliki landasan moral yang kuat. Tanpa landasan moral, maka keberadaan seorang ilmuan akan menjadi momok yang menakutkan. Etika keilmuan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis. Prinsip-prinsip tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan dari etika keilmuan adalah membimbing seorang ilmuan untuk menerapkan prinsip-prinsip moral agar perilaku keilmuannya senatiasa condong pada kebaikan.[13]
2.      Estetika.
Secara etimologi, estetika diambil dari bahasa Yunani, aisthetike yang berarti segala sesuatu yang dapat dicerna oleh indra. Estetika membahas refleksi kritis yang dirasakan oleh indera dan memberi penilaian terhadap sesuatu, indah atau tidak indah, beauty or ugly. Estetika disebut juga dengan istilah filsafat keindahan. Estetika merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan tentang nilai keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh. Maksudnya adalah suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola baik melainkan harus juga mempunyai kepribadian.[14]
Estetika didefinisikan sebagai studi tentang nilai-nilai yang dihasilkan dari emosi-sensorik yang kadang dinamakan nilai sentimentalitas atau cita rasa atau selera. Secara luasnya, estetika didefinisikan sebagai refleksi kritis tentang seni, budaya, dan alam. Estetika dikaitkan dengan aksiologi sebagai cabang filsafat dan juga diasosiasikan dengan filsafat seni.[15]
Nilai estetika yang melekat di dalam proses penyebaran ilmu yaitu tentang bagaimana proses penyampaian ilmu yang menjunjung tinggi nilai-nilai keindahan baik dari segi pemilihan bahasa, tutur kata penyampaian, kemasan ilmu, serta kebermanfaatannya di dalam masyarakat. Suatu ilmu harus dapat disampaikan dengan cara-cara yang bersahabat dan damai serta memberikan manfaat yang dapat menambah keindahan, kebahagiaan, dan keharmonisan di dalam kehidupan manusia.[16]
Penilaian Subjektif dan Objektif.
Sebagaimana dijelaskan di atas, aksiologi merupakan teori tentang nilai. Penilaian pada dasarnya memiliki dua karakteristik, yaitu objektif dan subjektif. Dalam kamus besar bahasa indonesia objektif berarti mengenai keadaan yang sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi. Sedangkan subjektif berarti mengenai atau menurut pandangan (perasaan) sendiri, tidak langsung mengenai pokok atau halnya.[17]
Suatu penilaian dikatakan subjektif apabila sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolok ukur segalanya atau validitas, makna dan eksistensi objek yang dinilai bergantung pada reaksi subjek yang menilai tanpa mempertimbangkan apakah yang dnilai bersifat psikis atau fisis.[18] Begitupun dengan penilaian objektif, apabila suatu penilaian hanya didasarkan pada keadaan objek yang dinilai tanpa melibatkan perasaan, selera atau kesadaran dari subjek yang menilai maka penilaian tersebut adalah penilaian objektif.[19]

C.    SIMPULAN
Aksiologi adalah ilmu yang menyelidiki penggunaan dan kegunaan dari suatu ilmu pengetahuan berdasarkan standar nilai.
Ruang lingkup aksiologi meliputi kaitan antara cara penggunaannya dengan kaidah-kaidah moral, penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral, kaitan metode ilmiah yang digunakan dengan norma-norma moral dan professional.
Obyek forma dalam studi aksiologi ada dua, yaitu etika dan estetika. Etika merupakan salah satu cabang ilmu fisafat yang membahas moralitas nilai baik dan buruk, etika bisa di definisikan sebagai nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan manusia atau masyarakat yang mengatur tingkah lakunya. Estetika membahas refleksi kritis yang dirasakan oleh indera dan memberi penilaian terhadap sesuatu, indah atau tidak indah, beauty or ugly. Estetika disebut juga dengan istilah filsafat keindahan.
Objektivitas dan subjektivitas dalam penilaian sangat bergantung pada subjek yang menilai.



[1] https://pakarkomunikasi.com/ontologi-epistemologi-dan-aksiologi
[2] https://hidayatullahahmad.wordpress.com/2013/03/17/makalah-filsafat-ilmu-aksiologi/
[3] https://id.wikipedia.org/wiki/Aksiologi
[4] Ibid.
[5] http://historia-rockgill.blogspot.com/2011/12/definisi-aksiologiontologi-dan.html
[6] https://dedikayunk.wordpress.com/2014/11/19/pengertian-aksiologi-dan-aspek-aspek-serta-isu-aksiologi/
[7] http://putricahyaniagustine.blogspot.com/2014/11/makalah-aksiologi-filsafat-ilmu.html
[8] http://irmairmaagro01.blogspot.com/2014/05/makalah-pengelolaan-air-pada-berbagai.html
[9] https://www.researchgate.net/publication/326653111_Aksiologi_Antara_Etika_Moral_dan_Estetika
[10] https://ganjureducation.wordpress.com/2010/12/28/aksiologi-ilmu-pengetahuan/
[11] http://aepcitystudio.blogspot.com/2014/09/hubungan-etika-dan-ilmu-pengetahuan.html
[12] Ibid.
[13] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu Edisi Revisi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 170
[14] https://www.academia.edu/5571813/MAKALAH_AKSIOLOGI_FILSAFAT_ISLAM?auto=download
[15] https://dedikayunk.wordpress.com/2014/11/19/pengertian-aksiologi-dan-aspek-aspek-serta-isu-aksiologi/
[16] https://rimatrian.blogspot.com/2016/11/pentingnya-etika-dan-estetika-dalam.html
[17] https://kbbi.web.id
[18] Risieri Frondiz, What Is Value, alih bahasa: Cuk Ananta Wijaya,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) hlm : 20.
[19] Irmayanti M Budiyanto, Filsafat dan Metodologi Ilmu Pengetahuan; Refleksi Kritis atas Kerja Ilmiah, (Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2001), hlm : 73.

Thursday, November 15, 2018

EPISTEMOLOGI




A.    Pendahuluan
Ilmu merupakan suatu hal yang penting bagi manusia karena dengan ilmu manusia dapat memenuhi segala kebutuhannya dengan cepat dan mudah. Salah satu kenyataan yang tidak terbantahkan adalah peran ilmu dalam kemajuan peradaban manusia. Dengan ilmu, manusia bisa merasakan berbagai kemudahan seperti transportasi, pemukiman, pendidikan dan komunikasi. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuannya. [1]
Keshahihan sebuah ilmu harus menjadi perhatian utama bagi seorang pencari ilmu mengingat besarnya pengaruh ilmu dalam kehidupan manusia. Jika ilmu yang didapatkan salah maka manusia akan tersesat dalam hidupnya. Jika manusia tersesat dalam hidupnya maka dia tidak akan mencapai tujuan hidup yang diinginkannya. Oleh karena itu memperhatikan keshahihan ilmu sangat penting bagi kehidupan manusia.
Kesahihan sebuah ilmu dapat diketahui dari proses/metode yang digunakan dalam menghasilkan ilmu dan dasar-dasar yang digunakan sebagai argumen penguat kebenaran ilmu. Salah satu cabang filsafat yang berurusan dengan keshahihan sebuah ilmu adalah epistemologi.
Latar belakang hadirnya pembahasan epistemologi itu adalah karena para pemikir melihat bahwa panca indra lahir manusia yang merupakan satu-satunya alat penghubung manusia dengan realitas eksternal terkadang atau senantiasa melahirkan banyak kesalahan dan kekeliruan dalam menangkap objek luar, dengan demikian, sebagian pemikir tidak menganggap valid lagi indra lahir itu dan berupaya membangun struktur pengindraan valid yang rasional. Namun pada sisi lain, para pemikir sendiri berbeda pendapat dalam banyak persoalan mengenai akal dan rasionalitas, dan keberadaan argumentasi akal yang saling kontradiksi dalam masalah-masalah pemikiran kemudian berefek pada kelahiran aliran Sophisme yang mengingkari validitas akal dan menolak secara mutlak segala bentuk eksistensi eksternal.
            Dengan alasan itu, persoalan epistemologi sangat dipandang serius sedemikian sehingga filosof Yunani, Aristoteles, berupaya menyusun kaidah-kaidah logika sebagai aturan dalam berpikir dan berargumentasi secara benar yang sampai sekarang ini masih digunakan. Lahirnya kaidah itu menjadi penyebab berkembangnya validitas akal dan indra lahir sedemikian sehingga untuk kedua kalinya berakibat memunculkan keraguan terhadap nilai akal dan indra lahir di Eropa, dan setelah Renaissance dan kemajuan ilmu empirik, lahir kembali kepercayaan kuat terhadap indra lahir yang berpuncak pada Positivisme. Pada era tersebut, epistemologi lantas menjadi suatu disiplin ilmu baru di Eropa yang dipelopori oleh Descartes (1596-1650) dan dikembangkan oleh filosof Leibniz (1646–1716) kemudian disempurnakan oleh John Locke di Inggris.[2]
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, tujuan dari penulisan artikel ini meliputi :
1.      Mengetahui definisi epistemologi.
2.      Mengetahui ruang lingkup epistemologi.
B.     Pembahasan
1.      Pengertian Epistemologi.
Istilah 'Epistemologi' pertama kali digunakan oleh filsuf Skotlandia James Frederick Ferrier pada tahun 1854.[3] Epistemologi berasal dari kata “episteme” dan “logos”. Episteme berarti pengetahuan dan logos berarti teori. Ada beberapa pengertian epistemologi yang diungkapkan para ahli yang dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu. Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori.[4]
Epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pengetahuan yang dimiliki.[5]
Objek epistemologi ini menurut Jujun S. Suriasumantri berupa “ segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang mejadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap perantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.[6] Jadi objek material epistemology adalah pengetahuan dan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan itu.[7]
2.      Ruang Lingkup Epistemologi
M. Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi hakekat, sumber dan validitas pengetahuan. Mudlor Achmad merinci menjadi enam aspek, yaitu hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. Bahkan, A.M Saefuddin menyebutkan, bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai dimanakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkat menjadi dua masalah pokok ; masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.[8] Adapun dalam artikel ini ruang lingkup epistemologi yang akan dibahas adalah proses mendapatkan ilmu, asal usul ilmu dan validitas ilmu.
a.      proses mendapatkan ilmu.
Prosedur dalam mendapatkan ilmu disebut metode ilmiah.[9] Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan  sangat bergantung pada metode ilmiah. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif.[10]
Menurut Burhanudin Salam beberapa jenis metode ilmiah yaitu observasi, trial and error, eksperimen dan statistik. Adapun menurut amsal bakhtiar beberapa jenis metode ilmiah meliputi meliputi metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kentemplatif, metode dialektis.[11]
1)      Observasi
Beberapa ilmu seperti astronomi dan botani telah dikembangkan secara cermat dengan metode observasi. Didalam metode observasi melingkupi pengamatan indrawi seperti : melihat, mendengar, menyentuh, meraba.
2)      Trial and error
Teknik yang diperoleh karena mengulang-ulang pekerjaan baik metode, teknik, materi, parameter-parameter sampai akhirnya menemukan sesuatu, memerlukan waktu yang lama dan biaya yang tinggi.
3)      Eksperimen
Kegiatan ekperimen adalah berdasarkan pada prinsip metode penemuan sebab akibat dan pengajuan hipotesis. Peranan metode ini adalah hanya untuk membedakan satu faktor atau kondisi pada suatu waktu, sedangkan faktor-faktor lainnya diusahakan tidak berubah atau tetap.
4)      Statistik
Istilah statistik berarti pengetahuan tentang mengumpulkan, menganalisis dan menggolongkan data sebagai dasar induksi. Metode statistik telah ada sejak lama, yaitu untuk membantu pemimpin dan penguasa mengumpulkan data tentang penduduk, kematian, kesehatan dan perpajakan. Metode statistik ini telah berkembang dan lebih menarik minat lagi, sehingga metode statistik dipakai dalam kehidupan sehari-hari misalnya perdagangan, peredaran uang dan lain sebagainya. Statistik memungkinkan kita untuk menjelaskan sebab dan akibat dan pengaruhnya, melukiskan tipe-tipe dari fenomena-fenomena dan kita dapat membuat perbandingan-perbandingan dengan mempergunakan tabel-tabel dan grafik. Statistik juga dapat meramalkan kejadian-kejadian yang akan datang dengan tingkat ketepatan yang tinggi.
5)      Metode induktif
Metode berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Pengetahuan dari hasil penyelidikan suatu fenomena berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diteliti. Generalisasi adalah bentuk dari metode berpikir induktif.
6)      Metode deduktif
Metode deduktif adalah cara analisis dari kesimpulan umum atau jeneralisasi yang diuraikan menjadi contoh-contoh kongkrit atau fakta-fakta untuk menjelaskan kesimpulan atau generalisasi tersebut. Metode Deduktif digunakan dalam sebuah penelitian disaat penelitian berangkat dari sebuah teori yang kemudian di buktikan dengan pencarian fakta.
7)      Metode positivisme
Metode ini berpangkal dari apa yang diketahui yang faktual, yang positif. Apa yang diketahui secara positif adalah segala yang tampak dan segala gejala. Tujuan dari metode ini adalah menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan pada fakta dengan pengamatan.
8)      Metode kontemplatif
Tujuan dari metode ini adalah memperoleh pengetahuan melalui intuisi dengan cara merenung. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan sehingga hasilnya berbeda-beda.
9)      Metode dialektis
Metode dialektika adalah metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistemik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan. Secara sederhana dialektika berarti mengkompromikan hal-hal yang berlawan antara tesis dan anti tesi menjadi sintesis.
b.      Asal usul ilmu.
Ilmu adalah pengetahuan suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menjelaskan gejala-gejala tertentu.[12] Pengetahuan diperoleh dengan menggunakan berbagai alat yang merupakan sumber dari pengetahuan tersebut. Dalam hal ini ada beberapa pendapat mengenai sumber pengetahuan antara lain.
1)      Empirisme
Kata ini berasal dari bahasa Yunani empeirikos, artinya pengalaman. Menurut aliaran ini, manusia mendapatkan pengetahuan melalui pengalamannya. Dan jika dikembalikan pada  kata Yunaninya, maka pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman inderawi.[13]
2)      Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh kebenaran melalui kegiatan menangkap objek. Pengalaman indera diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang dapat menyebabkan akal dapat bekerja, tetapi sesampainya manusia pada kebenaran adalah karena pekerjaan akal.[14]
3)      Intuisi
Menurut Henry Bergson intuisis adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini memerlukan suatu usaha.[15]
4)      Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantara para nabi. Para nabi memperoleh pengetahuan dari Allah tanpa upaya, tanpa bersusah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya. Wahyu Allah berisikan pengetahuan, baik mengenai kehidupan seseorang yang terjangkau oleh pengalaman, maupun yang mencakup masalah transendental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan manusia, dunia dan segenap isinya serta kehidupan di akhirat nanti.[16]
c.       Validitas ilmu.
Ilmu adalah any knowledge organized atau sebuah pengetahuan yang  terstruktur.[17] Oleh karena itu kebenaran pengetahuan memiliki pengaruh besar terhadap kebenaran ilmu. Bila pengetahuan yang didapat salah maka ilmu yang dihasilkan sesat. Ada beragam teori standar kebenaran yang dapat dijadikan tolok ukur keshahihan pengetahuan. Teori standar kebenaran tersebut antara lain sebagai berikut.
1)      Teori korespondensi
Menurut teori ini, kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut.[18] Suatu proposisi adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang diselaraskannya, yaitu apabila ia menyatakan apa adanya. Kebenaran adalah yang bersesuaian dengan fakta, yang selaras dengan realitas, yang serasi dengan situasi aktual.[19]
2)      Teori koherensi
Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan kata lain, kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui kebenarannya terlebih dahulu.[20] Jadi menurut teori ini, putusan yang satu dengan yang lainnya salaing berhubungan dan saling menerangkan satu sama lain.[21]
3)      Teori pragmatisme
Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan. Menurut teori ini benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori, semata-mata bergantung pada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar apabila mendatangkan asas manfaat dan akan dikatakan salah apabila tidak mendatangkan manfaat.[22]
4)      Teori agama
Salah satu cara untuk mencari kebenaran adalah dengan melalui agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia baik tentang alam, manusia maupun Tuhan. Suatu hal dianggap benar bila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.[23]

C.    Kesimpulan
Epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pengetahuan yang dimiliki.
Ruang lingkup epistemologi, meliputi hakekat, sumber dan validitas pengetahuan.


[1] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu Edisi Revisi, (Jakarta, PT Rajagrafindo Persada : 2012), hlm : 162.
[2] http://kataalan.blogspot.com/2016/11/makalah-filsafat-ilmu-tentang.html
[3] https://id.wikipedia.org/wiki/Epistemologi
[4] http://mangihot.blogspot.com/2017/10/pengertian-manfaat-dan-faktor-faktor.html
[5] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu Edisi Revisi, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada : 2012) hlm : 148-156
[6] http://blognyasharing.blogspot.com/2015/06/makalah-filsafat-ilmu-epistemologi_25.html
[7] http://islammakalah.blogspot.com/p/blog-page_4.html
[8] http://nyimasindakusumawati.blogspot.com/p/filsafat-ilmu_31.html
[9] http://blognyasharing.blogspot.com/2015/06/makalah-filsafat-ilmu-epistemologi_25.html
[10] http://matematikaunsriindah.blogspot.com/2014/11/makalah-epistemologi.html
[11] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu Edisi Revisi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004) hlm : 148-156
[12] Wihadi Admojo, et.al., Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1998), hlm : 324.
[13] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati; sejak Thales sampai Chapra, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1990) , hlm : 24.
[14] Amsal Bakhtiar, loc.cit., hlm : 102-103.
[15] Ahmad Tafsir, op.cit., hlm : 27.
[16] Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2000), hlm : 54.
[17] Mulyadi Kartanegara, Pengantar Epstemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003), hlm: 1
[18] Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2000), hlm : 57
[19] Amsal bakhtiar, loc.cit., hlm : 112.
[20] Jujun S Sumriasumantri, op.cit., hlm : 56.
[21] Amsal bakhtiar, op.cit, hlm : 116.
[22] Ibid, hlm : 118-119
[23] Ibid hlm : 120-121