Friday, December 7, 2018

MUHAMMADIYAH DI MASA ORDE LAMA




Orde Lama dalam sejarah politik Indonesia merujuk kepada masa pemerintahan Soekarno yang berlangsung dari tahun 1945 hingga 1967. Istilah ini tentu saja tidak digunakan pada saat itu, dan baru dicetuskan pada masa pemerintahan Soeharto yang disebut juga dengan Orde Baru.[1] Dalam jangka waktu tersebut, Indonesia menggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando. Di saat menggunakan sistem ekonomi liberal, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer. Presiden Soekarno di gulingkan waktu Indonesia menggunakan sistem ekonomi komando. Di pemerintahan Soekarno malah terjadi pergantian sistem pemerintahan berkali-kali. Liberal, terpimpin, dsb mewarnai politik Orde Lama.[2]
Berdasarkan gambaran di atas dapat diketahui bahwa pemerintahan orde lama berlangsung terhitung sejak Indonesia memasuki kemerdekaanya. Selain itu kondisi politik dan ekonomi Indonesia masih belum stabil. Hal ini dikarenakan pemerintah saat itu sibuk mempertahankan kemerdekaan dari gangguan Belanda dan Inggris, serta sibuk memadamkan berbagai pemberontakan.
Muhammadiyah ikut aktif dalam perjuangan, ketika Indonesia masih berada diawal kemerdekaan. Orang-orang Muhammadiyah ikut Terjun dalam kancah revolusi di berbagai laskar kerakyatan hingga tahun 1953.[3] Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman adalah salah satu tokoh pejuang hasil didikan dan kader Muhammadiyah. Pada masa itu juga ia juga dikenal guru Kepala Sekolah Muhammadiyah dan Ketua Muhammadiyah di Cilacap. Pada saat berjuang mempertahankan kemerdekaan beliau tidak pernah lepas dari bersuci, tidak pernah batal wudhu,  dan selalu mengerjakan sholat tepat waktu walaupun dalam kondisi yang sangat genting sekalipun, hal-hal tersebutlah yang diterapkan oleh ajaran Muhammadiyah.[4]
Perkembangan Muhammadiyah di Masa Orde Lama.
Memasuki masa orde lama awal, Persyarikatan Muhammadiyah masih berada dibawah kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo. Beliau menjabat ketua umum PP Muhammadiyah sejak tahun 1942 sampai 1953. Ki Bagoes Hadikoesoemo atau Ki Bagus Hadikusumo (lahir di Jogjakarta, 24 November 1890 – meninggal di Jakarta, 4 November 1954 pada umur 63 tahun) adalah seorang tokoh BPUPKI. Ia dilahirkan di kampung Kauman dengan nama R. Hidayat pada 11 Rabi'ul Akhir 1308 H (24 November 1890). Ki Bagus adalah putra ketiga dari lima bersaudara Raden Kaji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem putihan (pejabat) agama Islam di Kraton Yogyakarta. Pada tahun 1937, Ki Bagus diajak oleh Mas Mansoer untuk menjadi Wakil Ketua PP Muhammadiyah. Pada tahun 1942, ketika KH Mas Mansur dipaksa Jepang untuk menjadi ketua Putera(Pusat Tenaga Rakyat), Ki Bagus menggantikan posisi ketua umum yang ditinggalkannya. Posisi ini dijabat hingga tahun 1953.[5]
Ki Bagus Hadikusuma termasuk tokoh Muhammadiyah yang juga mengisi dan membentuk jiwa bagi gerakan Muhammadiyah. Pada periode ini dilahirkan Muqaddimah Anggaran dasar Muhammadiyah, sebagai rumusan singkat atas gagasan dan pokok-pokok pikiran KHA Dahlan (melalui murid-muridnya).
Perlu dicatat dalam sejarah, bahwa masa periode ini Muhammadiyah berani menentang pemerintah Dai Nippon yang mewajibkan “Syeikerai” (memuja Amaterasu Omikami dan Tenno Haika, syirik hukumnya), dalam hal ini Jepang mundur dan Muhammadiyah berhasil. Muhammadiyah ikut mendirikan Pasukan Hizbullah Sabilillah, Majelis Syurau Muslimin Indonesia (Masjumi) pengganti MIAI, dan mendirikan Asykar Perang Sabil (APS). Ketika opsir Jepang mewakili Indonesia bagian Timur minta penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta yang sudah disepakati untuk pembukaan UUD 1945, dan mengancam akan memisahkan diri dari RI, maka ki Bagus Hadikusuma mencarikan solusi dengan mengganti dengan kata “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pada Sidang Tanwir 1951 di Yogyakarta, diputuskan antara lain, Muhammadiyah tetap konsisten tidak akan berubah menjadi partai politik, “Sekali Muhammadiyah Tetap Muhammadiyah”. Selain itu juga menetapkan batas-batas otonomi Aisyiyah.
Pada Sidang Tanwir di Bandung tahun 1952, ditetapkan mempertahankan Muhammadiyah menjadi anggota Istimewa Partai Masjumi, dan mengadakan peremajaan dilingkungan Muhammadiyah. Pada Sidang Tanwir di Solo, 1953, diputuskan anggota Muhammadiyah hanya boleh memasuki partai yang berdasarkan Islam.[6]
Periode Kepemimpinan AR Sutan Mansur (1953-1959)
Ahmad Rasyid Sutan Mansur atau lebih dikenal sebagai AR Sutan Mansur lahir di Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 15 Desember 1895 – meninggal di Jakarta, 25 Maret 1985 pada umur 89 tahun. Beliau terpilih sebagai Ketua Pusat Pimpinan (PP) Muhammadiyah ketika berlangsung Kongres Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto tahun 1953. Tiga tahun berikutnya yakni pada Kongres ke-33 di Yogyakarta, dia terpilih kembali sebagai ketua PP Muhammadiyah. Lantas pada kongres ke-35 tahun 1962 di Yogyakarta, Sutan Mansur diangkat sebagai Penasehat PP Muhammadiyah sampai 1980.
Tercatat selama masa kepemimpinannya dua periode (1953-1959) dia berhasil merumuskan khittah (garis perjuangan) Muhammadiyah. Antara lain mencakup usaha-usaha menanamkan dan mempertebal jiwa tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusyuk dan tawadlu, mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, menggerakkan organisasi dengan penuh tanggung jawab, memberikan contoh dan suri tauladan kepada umat, konsolidasi administrasi, mempertinggi kualitas sumber daya manusia, serta membentuk kader handal.
Dalam bidang fikih, Sutan Mansur dikenal sangat toleran. Dia misalnya tidak terlalu mempermasalahkan perbedaan pendapat dalam masalah furu'iyyah (hukum agama yang tidak pokok). Hasil Putusan Tarjih Muhammadiyah dipandangnya hanya sebagai sikap organisasi Muhammadiyah terhadap suatu masalah agama, itu pun sepanjang belum ditemukan pendapat yang lebih kuat. Karenanya HPT menurut dia tidak mengikat anggota Muhammadiyah.[7]
Periode H.M. Yunus Anies (1959 – 1962)
Muhammad Yunus Anis dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 3 Mei 1903. Ayahnya, Haji Muhammad Anis, adalah seorang abdi dalem Kraton Yogyakarta. Berdasarkan surat kekancingan dari Swandana Tepas Dwara Putera Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 1961, disebutkan bahwa Yunus Anis masih ada hubungan kekerabatan dengan Sultan Mataram. Sejak kecil ia dididik agama oleh kedua orang tuanya dan datuknya sendiri, terutama membaca al-Qur'an dan pendidikan akhlaq. Pendidikan formalnya dimulai di Sekolah Rakyat Muhammadiyah Yogyakarta, kemudian dilanjutkan di Sekolah Al-Atas dan Sekolah Al-Irsyad di Batavia (Jakarta) yang dibimbing oleh Syekh Ahmad Syurkati, seorang kawan akrab Kiai Dahlan. Pendidikan yang diterima di sekolah tersebut membawa dirinya tampil sebagai pemimpin Islam di Indonesia yang tangguh.[8]
Yunus Anis dikenal pula sebagai organisator dan administrator. Berdasarkan bakat itu, Yunus Anis diminta membina bagian pemuda Hizbul Wathan. Hal itulah yang kemudian membuatnya dipercaya sebagai Pengurus Cabang Muhammadiyah Batavia, hingga kepemimpinannya semakin terlihat menonjol dan memperoleh kepercayaan dari keluarga besar Muhammadiyah. Maka tahun 1934-1936 dan 1953-1958, Yunus Anis dipercaya sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.[9]
Setelah itu Yunus Anis dipercaya sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiah tahun periode 1959 hingga 1962. Muhammad Yunus Anis adalah salah satu tokoh pembaharu Muhammadiyah pada periodenya. Prinsip beliau beragama hanyalah satu yaitu al-Qur’an dan al-Hadits yang merupakan sumber kebenaran beragama. Dari hal tersebut tercerminlah perilaku beliau yang senantiasa menolak kebatilan dan kemungkaran.[10]
Periode K.H. Ahmad Badawi (1962 – 1968)
Penasihat Pribadi Presiden Soekarno dibidang agama (1963) ini lahir di Kauman Yogyakarta, pada tanggal 5 Februari 1902 sebagai putra ke-4. Ayahnya, K.H. Muham­mad Fakih (salah satu Pengurus Muhammadiyah pada tahun 1912 sebagai Komisaris), sedangkan ibunya bernama Nyai Hj. Sitti Habibah (adik kandung K.H. Ahmad Dahlan). Jika dirunut silsilah dari garis ayah, maka Ahmad Badawi memiliki garis keturunan dengan Panembahan Senopati. Dalam keluarga Badawi sangat kental ditanam­kan nilai-nilai agama. Hal ini sangat mempengaruhi perilaku hidup dan etika kesehariannya. Diantara saudara-saudaranya, Badawi memiliki kelebihan, yaitu senang berorganisasi. Hobinya ini menjadi ciri khusus baginya yang tumbuh sedari masih remaja, yaitu ketika ia masih menempuh pendi­dikan. Sejak masih belajar mengaji di pondok-pondok pesantren, dia sering membuat kelompok belajar/organisasi yang mendukung kelancaran proses mengajinya.[11]
K.H. Ahmad Badawi dipilih dalam Muktamar ke-35 di Jakarta tahun 1962. Muhammadiyah berjuang keras untuk mempertahankan eksistensinya agar tidak dibubarkan. Karena waktu itu politik dikuasai oleh PKI dan Bung Karno tahun 1965.[12]
Periode ini merupakan periode Muhammadiyah menghadapi PKI, dan kehidupan kenegaraan yang cenderung terkontaminasi politik PKI. Situasi Sosial Ekonomi sangat buruk, kemiskinan merajalela, gerak politik yang revolusioner yang tidak menentu. Pimpinan Muhammadiyah periode ini bertugas terus memperkokoh kekuatan umat Islam dalam melawan PKI dan antek-anteknya. Selain itu, menyelamatkan negara dengan pendekatan pada presiden agar tidak terseret jauh terpengaruh oleh politik PKI yang memusuhi umat Islam Indonesia.
Pada saatnya berhadapan dengan PKI, KHA Badawi dengan tegas menyatakan bahwa “Membubarkan PKI adalah ibadah”. Pada saat PKI berontak tahun 1965, Muhammadiyah telah siap menghadapinya dengan Tapak Suci (1963) dan pasukan KOKAM (1964), sehingga Muhammadiyah ikut aktif bersama pemerintah yang anti komunis untuk menumpak G.30 S/PKI.
Oleh pemerintah Muhammadiyah diberikan fungsi politik dapat duduk dalam DPR GR dan MPRS, dan para fungsionarisnya juga ada yang didudukkan dalam eksekutif. Namun kemudian, setelah situasi mereda, Muhammadiyah kembai pada khittahnya semula sebagai organisasi sosial keagamaan.[13]
Penutup
Kondisi negara Indonesia di masa orde lama masih belum stabil baik dari segi ekonomi maupun politik, pemerintah masih sibuk mempertahankan kemerdekaan NKRI dari serangan tentara Belanda dan Inggris serta memadamkan berbagai pemberontakan. Kondisi tersebut juga sangat berpengaruh bagi perkembangan Muhammadiyah saat itu. Hal itu terlihat ketika Muhammadiyah berusaha mempertahankan diri agar tidak dibubarkan oleh pemerintah, dikarenakan saat itu pemerintah dipengaruhi oleh PKI.
Demikianlah gambaran singkat mengenai perkembangan Muhammadiyah di masa Orde Lama, semoga artikel ini bermanfaat bagi pembaca terutama untuk referensi. Mohon maaf atas segala kekurangan dalam tulisan ini.


[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Orde_Lama
[2] http://meirinaannisa.blogspot.com/2015/10/keadaan-politik-dari-orde-lama-sampai.html
[3] http://sekolahmuonline.blogspot.com/2018/03/muhammadiyah-dari-masa-ke-masa.html
[4] https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/17/06/05/or2pnt377-panglima-jenderal-sudirman-didikan-dan-kader-muhammadiyah
[5] http://sdmuhammadiyah1remu.blogspot.com/2016/12/10-tokoh-muhammadiyah.html
[6] https://kamatblog.wordpress.com/2013/04/09/sejarah-kepemimpinan-muhammadiyah-dari-masa-ke-masa/
[7] https://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Rasyid_Sutan_Mansur
[8] http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2010/03/muhammad-yunus-anis-dilahirkan-di.html
[9] https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Yunus_Anis
[10] https://www.kompasiana.com/nithanasution8794/55200339a33311182ab6772f/h-m-yunus-anis-sosok-pemimpin-yang-kaya-akan-pengalaman
[11] http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-163-det-kh-ahmad-badawi.html
[12] http://sekolahmuonline.blogspot.com/2018/03/muhammadiyah-dari-masa-ke-masa.html
[13] https://kamatblog.wordpress.com/2013/04/09/sejarah-kepemimpinan-muhammadiyah-dari-masa-ke-masa/
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

silahkan berkomentar asal sopan