Orde Lama dalam sejarah politik Indonesia merujuk kepada masa pemerintahan
Soekarno yang berlangsung dari tahun 1945 hingga 1967. Istilah ini tentu saja
tidak digunakan pada saat itu, dan baru dicetuskan pada masa pemerintahan
Soeharto yang disebut juga dengan Orde Baru.[1]
Dalam jangka waktu tersebut, Indonesia menggunakan bergantian sistem ekonomi
liberal dan sistem ekonomi komando. Di saat menggunakan sistem ekonomi liberal,
Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer. Presiden Soekarno di
gulingkan waktu Indonesia menggunakan sistem ekonomi komando. Di pemerintahan
Soekarno malah terjadi pergantian sistem pemerintahan berkali-kali. Liberal,
terpimpin, dsb mewarnai politik Orde Lama.[2]
Berdasarkan gambaran di atas dapat diketahui bahwa pemerintahan orde lama
berlangsung terhitung sejak Indonesia memasuki kemerdekaanya. Selain itu
kondisi politik dan ekonomi Indonesia masih belum stabil. Hal ini dikarenakan
pemerintah saat itu sibuk mempertahankan kemerdekaan dari gangguan Belanda dan
Inggris, serta sibuk memadamkan berbagai pemberontakan.
Muhammadiyah ikut aktif dalam perjuangan, ketika Indonesia masih berada diawal
kemerdekaan. Orang-orang Muhammadiyah ikut Terjun dalam kancah revolusi di
berbagai laskar kerakyatan hingga tahun 1953.[3] Panglima
Besar TNI Jenderal Soedirman adalah salah satu tokoh pejuang hasil didikan dan
kader Muhammadiyah. Pada masa itu juga ia juga dikenal guru Kepala Sekolah
Muhammadiyah dan Ketua Muhammadiyah di Cilacap. Pada saat berjuang
mempertahankan kemerdekaan beliau tidak pernah lepas dari bersuci, tidak pernah
batal wudhu, dan selalu mengerjakan
sholat tepat waktu walaupun dalam kondisi yang sangat genting sekalipun,
hal-hal tersebutlah yang diterapkan oleh ajaran Muhammadiyah.[4]
Perkembangan Muhammadiyah di Masa Orde Lama.
Memasuki masa orde lama awal, Persyarikatan Muhammadiyah masih berada
dibawah kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo. Beliau menjabat ketua umum PP
Muhammadiyah sejak tahun 1942 sampai 1953. Ki Bagoes Hadikoesoemo atau Ki Bagus
Hadikusumo (lahir di Jogjakarta, 24 November 1890 – meninggal di Jakarta, 4
November 1954 pada umur 63 tahun) adalah seorang tokoh BPUPKI. Ia dilahirkan di
kampung Kauman dengan nama R. Hidayat pada 11 Rabi'ul Akhir 1308 H (24 November
1890). Ki Bagus adalah putra ketiga dari lima bersaudara Raden Kaji Lurah
Hasyim, seorang abdi dalem putihan (pejabat) agama Islam di Kraton Yogyakarta.
Pada tahun 1937, Ki Bagus diajak oleh Mas Mansoer untuk menjadi Wakil Ketua PP
Muhammadiyah. Pada tahun 1942, ketika KH Mas Mansur dipaksa Jepang untuk
menjadi ketua Putera(Pusat Tenaga Rakyat), Ki Bagus menggantikan posisi ketua
umum yang ditinggalkannya. Posisi ini dijabat hingga tahun 1953.[5]
Ki Bagus Hadikusuma termasuk tokoh Muhammadiyah yang juga mengisi dan
membentuk jiwa bagi gerakan Muhammadiyah. Pada periode ini dilahirkan
Muqaddimah Anggaran dasar Muhammadiyah, sebagai rumusan singkat atas gagasan
dan pokok-pokok pikiran KHA Dahlan (melalui murid-muridnya).
Perlu dicatat dalam sejarah, bahwa masa periode ini Muhammadiyah berani
menentang pemerintah Dai Nippon yang mewajibkan “Syeikerai” (memuja Amaterasu
Omikami dan Tenno Haika, syirik hukumnya), dalam hal ini Jepang mundur dan
Muhammadiyah berhasil. Muhammadiyah ikut mendirikan Pasukan Hizbullah
Sabilillah, Majelis Syurau Muslimin Indonesia (Masjumi) pengganti MIAI, dan
mendirikan Asykar Perang Sabil (APS). Ketika opsir Jepang mewakili Indonesia
bagian Timur minta penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta yang sudah disepakati
untuk pembukaan UUD 1945, dan mengancam akan memisahkan diri dari RI, maka ki
Bagus Hadikusuma mencarikan solusi dengan mengganti dengan kata “Ketuhanan Yang
Maha Esa”.
Pada Sidang Tanwir 1951 di Yogyakarta, diputuskan antara lain, Muhammadiyah
tetap konsisten tidak akan berubah menjadi partai politik, “Sekali Muhammadiyah
Tetap Muhammadiyah”. Selain itu juga menetapkan batas-batas otonomi Aisyiyah.
Pada Sidang Tanwir di Bandung tahun 1952, ditetapkan mempertahankan
Muhammadiyah menjadi anggota Istimewa Partai Masjumi, dan mengadakan peremajaan
dilingkungan Muhammadiyah. Pada Sidang Tanwir di Solo, 1953, diputuskan anggota
Muhammadiyah hanya boleh memasuki partai yang berdasarkan Islam.[6]
Periode Kepemimpinan AR Sutan Mansur (1953-1959)
Ahmad Rasyid Sutan Mansur atau lebih dikenal sebagai AR Sutan Mansur lahir
di Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 15 Desember 1895 – meninggal di Jakarta, 25
Maret 1985 pada umur 89 tahun. Beliau terpilih sebagai Ketua Pusat Pimpinan
(PP) Muhammadiyah ketika berlangsung Kongres Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto
tahun 1953. Tiga tahun berikutnya yakni pada Kongres ke-33 di Yogyakarta, dia
terpilih kembali sebagai ketua PP Muhammadiyah. Lantas pada kongres ke-35 tahun
1962 di Yogyakarta, Sutan Mansur diangkat sebagai Penasehat PP Muhammadiyah
sampai 1980.
Tercatat selama masa kepemimpinannya dua periode (1953-1959) dia berhasil
merumuskan khittah (garis perjuangan) Muhammadiyah. Antara lain mencakup
usaha-usaha menanamkan dan mempertebal jiwa tauhid, menyempurnakan ibadah
dengan khusyuk dan tawadlu, mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan,
menggerakkan organisasi dengan penuh tanggung jawab, memberikan contoh dan suri
tauladan kepada umat, konsolidasi administrasi, mempertinggi kualitas sumber
daya manusia, serta membentuk kader handal.
Dalam bidang fikih, Sutan Mansur dikenal sangat toleran. Dia misalnya tidak
terlalu mempermasalahkan perbedaan pendapat dalam masalah furu'iyyah (hukum
agama yang tidak pokok). Hasil Putusan Tarjih Muhammadiyah dipandangnya hanya
sebagai sikap organisasi Muhammadiyah terhadap suatu masalah agama, itu pun
sepanjang belum ditemukan pendapat yang lebih kuat. Karenanya HPT menurut dia
tidak mengikat anggota Muhammadiyah.[7]
Periode H.M. Yunus Anies (1959 – 1962)
Muhammad Yunus Anis dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 3
Mei 1903. Ayahnya, Haji Muhammad Anis, adalah seorang abdi dalem Kraton
Yogyakarta. Berdasarkan surat kekancingan dari Swandana Tepas Dwara Putera
Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 1961, disebutkan bahwa Yunus Anis
masih ada hubungan kekerabatan dengan Sultan Mataram. Sejak kecil ia dididik
agama oleh kedua orang tuanya dan datuknya sendiri, terutama membaca al-Qur'an
dan pendidikan akhlaq. Pendidikan formalnya dimulai di Sekolah Rakyat
Muhammadiyah Yogyakarta, kemudian dilanjutkan di Sekolah Al-Atas dan Sekolah
Al-Irsyad di Batavia (Jakarta) yang dibimbing oleh Syekh Ahmad Syurkati,
seorang kawan akrab Kiai Dahlan. Pendidikan yang diterima di sekolah tersebut
membawa dirinya tampil sebagai pemimpin Islam di Indonesia yang tangguh.[8]
Yunus Anis dikenal pula sebagai organisator dan administrator. Berdasarkan bakat
itu, Yunus Anis diminta membina bagian pemuda Hizbul Wathan. Hal itulah yang
kemudian membuatnya dipercaya sebagai Pengurus Cabang Muhammadiyah Batavia,
hingga kepemimpinannya semakin terlihat menonjol dan memperoleh kepercayaan
dari keluarga besar Muhammadiyah. Maka tahun 1934-1936 dan 1953-1958, Yunus
Anis dipercaya sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.[9]
Setelah itu Yunus Anis dipercaya sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiah tahun periode 1959 hingga 1962. Muhammad Yunus Anis adalah salah
satu tokoh pembaharu Muhammadiyah pada periodenya. Prinsip beliau beragama
hanyalah satu yaitu al-Qur’an dan al-Hadits yang merupakan sumber kebenaran beragama.
Dari hal tersebut tercerminlah perilaku beliau yang senantiasa menolak
kebatilan dan kemungkaran.[10]
Periode K.H. Ahmad Badawi (1962 – 1968)
Penasihat Pribadi Presiden Soekarno dibidang agama (1963) ini lahir di
Kauman Yogyakarta, pada tanggal 5 Februari 1902 sebagai putra ke-4. Ayahnya,
K.H. Muhammad Fakih (salah satu Pengurus Muhammadiyah pada tahun 1912 sebagai
Komisaris), sedangkan ibunya bernama Nyai Hj. Sitti Habibah (adik kandung K.H.
Ahmad Dahlan). Jika dirunut silsilah dari garis ayah, maka Ahmad Badawi
memiliki garis keturunan dengan Panembahan Senopati. Dalam keluarga Badawi
sangat kental ditanamkan nilai-nilai agama. Hal ini sangat mempengaruhi
perilaku hidup dan etika kesehariannya. Diantara saudara-saudaranya, Badawi
memiliki kelebihan, yaitu senang berorganisasi. Hobinya ini menjadi ciri khusus
baginya yang tumbuh sedari masih remaja, yaitu ketika ia masih menempuh
pendidikan. Sejak masih belajar mengaji di pondok-pondok pesantren, dia sering
membuat kelompok belajar/organisasi yang mendukung kelancaran proses
mengajinya.[11]
K.H. Ahmad Badawi dipilih dalam Muktamar ke-35 di Jakarta tahun 1962.
Muhammadiyah berjuang keras untuk mempertahankan eksistensinya agar tidak
dibubarkan. Karena waktu itu politik dikuasai oleh PKI dan Bung Karno tahun
1965.[12]
Periode ini merupakan periode Muhammadiyah menghadapi PKI, dan kehidupan
kenegaraan yang cenderung terkontaminasi politik PKI. Situasi Sosial Ekonomi
sangat buruk, kemiskinan merajalela, gerak politik yang revolusioner yang tidak
menentu. Pimpinan Muhammadiyah periode ini bertugas terus memperkokoh kekuatan
umat Islam dalam melawan PKI dan antek-anteknya. Selain itu, menyelamatkan
negara dengan pendekatan pada presiden agar tidak terseret jauh terpengaruh
oleh politik PKI yang memusuhi umat Islam Indonesia.
Pada saatnya berhadapan dengan PKI, KHA Badawi dengan tegas menyatakan
bahwa “Membubarkan PKI adalah ibadah”. Pada saat PKI berontak tahun 1965,
Muhammadiyah telah siap menghadapinya dengan Tapak Suci (1963) dan pasukan
KOKAM (1964), sehingga Muhammadiyah ikut aktif bersama pemerintah yang anti
komunis untuk menumpak G.30 S/PKI.
Oleh pemerintah Muhammadiyah diberikan fungsi politik dapat duduk dalam DPR
GR dan MPRS, dan para fungsionarisnya juga ada yang didudukkan dalam eksekutif.
Namun kemudian, setelah situasi mereda, Muhammadiyah kembai pada khittahnya
semula sebagai organisasi sosial keagamaan.[13]
Penutup
Kondisi negara Indonesia di masa orde lama masih belum stabil baik dari
segi ekonomi maupun politik, pemerintah masih sibuk mempertahankan kemerdekaan
NKRI dari serangan tentara Belanda dan Inggris serta memadamkan berbagai
pemberontakan. Kondisi tersebut juga sangat berpengaruh bagi perkembangan
Muhammadiyah saat itu. Hal itu terlihat ketika Muhammadiyah berusaha
mempertahankan diri agar tidak dibubarkan oleh pemerintah, dikarenakan saat itu
pemerintah dipengaruhi oleh PKI.
Demikianlah gambaran singkat mengenai perkembangan Muhammadiyah di masa Orde
Lama, semoga artikel ini bermanfaat bagi pembaca terutama untuk referensi. Mohon
maaf atas segala kekurangan dalam tulisan ini.
[1]
https://id.wikipedia.org/wiki/Orde_Lama
[2] http://meirinaannisa.blogspot.com/2015/10/keadaan-politik-dari-orde-lama-sampai.html
[3] http://sekolahmuonline.blogspot.com/2018/03/muhammadiyah-dari-masa-ke-masa.html
[4] https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/17/06/05/or2pnt377-panglima-jenderal-sudirman-didikan-dan-kader-muhammadiyah
[5] http://sdmuhammadiyah1remu.blogspot.com/2016/12/10-tokoh-muhammadiyah.html
[6] https://kamatblog.wordpress.com/2013/04/09/sejarah-kepemimpinan-muhammadiyah-dari-masa-ke-masa/
[7] https://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Rasyid_Sutan_Mansur
[8] http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2010/03/muhammad-yunus-anis-dilahirkan-di.html
[9] https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Yunus_Anis
[10] https://www.kompasiana.com/nithanasution8794/55200339a33311182ab6772f/h-m-yunus-anis-sosok-pemimpin-yang-kaya-akan-pengalaman
[11] http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-163-det-kh-ahmad-badawi.html
[12] http://sekolahmuonline.blogspot.com/2018/03/muhammadiyah-dari-masa-ke-masa.html
[13] https://kamatblog.wordpress.com/2013/04/09/sejarah-kepemimpinan-muhammadiyah-dari-masa-ke-masa/