Sudah menjadi kelaziman di negara kita bahwa ketika tiba hari raya idul
fitri maka kan dibarengi dengan tradisi halal bi halal. Halal bi halal pada
dasarnya adalah suatu tradisi berkumpul sekelompok orang Islam di Indonesia
dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai ungkapan saling
memaafkan agar yang haram menjadi halal. Umumnya, kegiatan ini diselenggarakan
setelah melakukan shalat Idul Fitri. Kadang-kadang, acara halal bi halal juga
dilakukan di hari-hari setelah Idul Fitri dalam bentuk pengajian, ramah tamah
atau makan bersama.[1] Halal bi halal ini sudah
lazim dilakukan baik di lingkungan desa, kantor ataupun instansi resmi pemerintah.
Kendati halal bi halal sudah lazim dilakukan, banyak dari kita yang belum
mengetahui secara pasti makna dan sejarah dari halal bi halal itu sendiri.[2]
Pengertian Halal bi halal
Halal bi halal bila diamati seolah-olah merupakan kata-kata yang diadobsi
dari bahasa arab, akan tetapi jika dicari dalam kamus bahasa arab baik klasik
maupun modern maka tidak akan dijumpai kata hal bi halal tersebut. Secara
bahasa, halal bi halal adalah kata majemuk dalam bahasa Arab dan berarti halal
dengan halal atau sama-sama halal.[3] Kalau diperhatikan
dengan seksama kata halal bi halal memang istilah hasil kreasi orang indonesia.
Berdasarkan analisis fajrul falah kata halal bi hala memiliki dua makna. Makna yang
pertama halal bi halal berarti mencari penyelesaian masalah atau mencari
keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Sementara makna yang
kedua adalah pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan
dengan cara saling memaafkan.[4] Adapun secara
Istilah kata halal bi halal lazim dimaknai sebagai tradisi saling meminta maaf
setelah melakasanakan shalat idul fitri.
Sejarah Halal bi Halal
Mengenai asal usul dan perintis dari tradisi halal bi halal memang terjadi
simpang siur. Ada yang berpendapat bahwa tradisi halal bi halal dirintis oleh
KGPAA Mangkunegara I atau yang disebut dengan pangeran Samber Nyawa. Ada juga
yang berpendapat bahwa tradisi halal bi halal dirintis oleh KH Wahab Hasbullah
salah satu tokoh yang berpengaruh di dalam Organisasi NU. Namun berdasarkan
riwayat yang masyhur, diketahui bahwa perintis dari tradisi halal bi halal
adalah KH Wahab Hasbullah.
Tradisi halal bi halal berawal dari gejala disintegrasi bangsa yang terjadi
pada tahun 1948 tepatnya pada masa kepemimpinan presiden Soekarno. Indikasi
dari gejala disintegrasi tersebut antara lain munculnya berbagai macam
pemberontakan di berbagai wilayah Indonesia. Disisi lain para elit politik
tidak akur.
Pada pertengahan bulan Ramadhan, Presiden Soekarno memanggil KH Wahab
Hasbullah ke istana negara. Beliau dimintai saran agar Bung Karno dapat
menyelesaikan situasi pelik dari politik di Indonesia saat itu. Kiai Wahab
mengusulkan agar Bung Karno mengadakan acara silaturrahmi antar elit politik,
karena sebentar lagi adalah hari raya Idul Fitri di mana umat islam disunnahkan
untuk bersilaturrahmi.
Bung Karno meminta kepada KH Wahab Hasbullah agar memberi nama khusus untuk
kegiatan silaturahmi tersebut.
Kyai Wahab lalu menjawab, “Itu gampang. Begini, para elit politik tidak mau
bersatu itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa,
dan dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus
dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling
menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah 'halal bi halal'. Dari
situ kemudian para elit politik dapat kembali berkumpul dan duduk dalam satu
meja untuk kembali menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.[5]
Bila diamati dengan seksama maka akan diketahui bahwa tujuan awal
penyelenggaraan halal bi halal adalah untuk mencegah terjadinya disintegrasi
bangsa Indonesia serta mempererat persatuan dan kesatuan bangsa. Namun seiring
dengan perkembangan zaman, tujuan dari tradisi halal bi halal berkembang
menjadi ajang untuk menyambung silaturahmi antar keluarga dan kerabat terutama
kerabat yang jauh serta mempererat ukhuwah Islamiah.