Sunday, December 16, 2018

SUMBER HUKUM ISLAM






Islam adalah hadiah dari Allah kepada jin dan manusia sebagi wujud dari kasih sayangnya. Barang siapa yang memilih Islam sebagai agamanya niscaya hidupnya akan bahagia dan selamat dunia akhirat.
Allah memerintahkan umat Islam agar memeluk Islam secara kaffah agar selamat dari fitnah dunia maupun akhirat. Konsekuensi dari memeluk Islam secara kaffah adalah dengan melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala bentuk larangan Allah. Agar bisa menjalankan ajaran Islam secara menyeluruh umat Islam haruslah memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam terkait perintah maupun larangan dalam Islam. Pengetahuan ajaran Islam yang shohih terutama menyangkut perintah dan larangan terdapat pada dalil syar’i atau sumber hukum Islam.
Sumber-sumber hukum Islam (Arab: الأدلة الشرعية الإسلامية, translit. al-adillah al-syar’iyyah al-islāmiyyah), atau dalil syar'i, adalah rujukan pengambilan keputusan untuk menghukumi suatu perbuatan (misal, wajib) dalam syariat Islam dengan cara yang dibenarkan.[1]
Alquran dan Sunnah adalah 2 dasar utama dari sumber syariat Islam itu sendiri. Sesuai berkembangnya zaman, waktu pun berlalu, maka permasalahan umat pun semakin complicated. makanan halal, minuman halal dalam Islam, makanan haram menurut Islam, hukum pernikahan, dan fiqih muamalah jual beli dalam Islam sudah berkembang dan semakin komplit. Hal tersebut tidak dijelaskan dalam kedua sumber tersebut secara jelas dan gamblang. Melihat kasus ini maka perlu adanya peranan para ulama untuk mengkaji lebih dalam makna yang tersimpan dalam Alquran sebagai cara mencari jalan keluar dari hukum Islam.
Selain dua dasar utama dari hukum Islam tadi ( Alquran dan Sunah,) maka ada cara lain yang bisa menjadi sumber hukum dalam Islam yaitu Ijtihad. Ijtihad ini mencakup beberapa macam cara yaitu : ijtima’, qiyas, istihsan, isthshab, istidlal, maslahatul murshalah, urf, dan zara’i.[2]
Al-Qur’an.
Dari segi bahasa, Al-Quran berarti “yang dibaca” atau “bacaan”. Sedangkan, menurut istilah pengertian Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang berisi firman-firman Allah SWT, yang diwahyukan dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad dan membacanya bernilai ibadah. Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk/pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Sebagai pedoman hidup, isi/kandungan Al-Qur’an terbagi menjadi tiga pembahasan pokok yaitu akidah, ibadah, dan prinsip-prinsip syariat.[3]
Kedudukan Al-Qur’an kaitannya dengan sumber hukum Islam ialah sebagai sumber hukum yang pertama dan utama. Isi kandungan Al-Qur’an sangatlah lengkap. Meskipun serba ringkas, Al-Qur’an membicarakan beraneka ragam kehidupan baik yang berhubungan dengan kehidupan dunia maupun akhirat.[4]
Al-Hadits
Menurut bahasa hadits adalah jadid, yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat. Hadits juga berarti khabar, artinya berita, yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Selain itu, hadits juga berarti qarib, artinya dekat, tidak lama lagi terjadi.
Menurut ahli hadits, pengertian hadits adalah “Seluruh perkataan, perbuatan, dan hal ihwal tentang Nabi Muhammad SAW”, sedangkan menurut yang lainnya adalah “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuataan, maupun ketetapannya.”
Adapun menurut muhadditsin, hadits itu adalah “Segala apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik itu hadits marfu’(yang disandarkan kepada Nabi), hadits mauquf (yang disandarkan kepada sahabat) ataupun hadits maqthu’ (yang disandarkan kepada tabi’in).[5]
Al-Hadis adalah sumber hukum kedua dalam Islam. Sebagai sumber hukum Islam, al-Hadis mempunyai peranan penting setelah Al-Quran. Al-Quran sebagai kitab suci dan pedoman hidup umat Islam diturunkan pada umumnya dalam kata-kata yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih lanjut, agar dapat dipahami dan diamalkan.
Ada tiga fungsi atau peranan al-Hadis disamping al-Quran sebagai sumber agama dan ajaran Islam, yakni sebagai berikut :
1.      Menegaskan lebih lanjut ketentuan yang terdapat dalam al-Quran. Misalnya dalam Al-Quran terdapat ayat tentang sholat tetapi mengenai tata cara pelaksanaannya dijelaskan oleh Nabi.
2.      Sebagai penjelasan isi Al-Quran. Di dalam Al-Quran Allah memerintahkan manusia mendirikan shalat. Namun di dalam kitab suci tidak dijelaskan banyaknya raka’at, cara rukun dan syarat mendirikan shalat. Nabilah yang menyebut sambil mencontohkan jumlah raka’at setiap shalat, cara, rukun dan syarat mendirikan shalat.
3.      Menambahkan atau mengembangkan sesuatu yang tidak ada atau samar-samar ketentuannya di dalam Al-Quran. Sebagai contoh larangan Nabi mengawini seorang perempuan dengan bibinya. Larangan ini tidak terdapat dalam larangan-larangan perkawinan di surat An-Nisa (4) : 23.[6]
Hadits menurut jumlah sanadnya dibagi menjadi dua jenis yaitu mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir ialah hadits yang memiliki jalan periwayatan yang banyak dan tidak dibatasi jumlah tertentu. Menurut pengertian lain hadits mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang, dan menurut kebiasaan tidak mungkin mereka sepakat berbohong. Maksudnya hadits atau khabar mutawatir ini adalah hadits yang diriwayatkan di setiap tingkatan sanad (jalur periwayatan hadits) oleh banyak sekali periwayat hadits (rawi), hingga secara akal tidak ada kemungkinan seluruh rawi tersebut bersepakat dalam membuat-buat atau memalsukan hadits tersebut.
Hadits mutawatir tak terwujud kecuali memenuhi syarat-syarat berikut ini:
1.      Diriwayatkan oleh sejumlah besar orang. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah batas minimalnya.
2.      Jumlah yang banyak ini terdapat di setiap tingkatan sanad (jalur periwayatan hadits).
3.      Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka sepakat berbohong. Misalnya karena rawi-rawi tersebut berasal dari negeri yang berbeda, bangsa yang berbeda, atau madzhab yang berbeda.
4.      Penyandarannya melalui panca indra, misal ‘kami dengar’, ‘kami lihat’, dan yang semisalnya. Jika penyandarannya melalui perenungan, mimpi atau yang semisalnya, ia tidak dianggap mutawatir.[7]
Adapun hadits ahad secara bahasa adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi saja. Adapun secara istilah, ialah mencakup seluruh hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir. Oleh karena itu hadits ahad dalam definisi ini lebih luas dan mencakup kategori:
1.      Hadits masyhur, hadits yang diriwayatkan oleh tiga perawi dalam tiap thabaqat (generasi perawi), atau lebih dari tiga selama tidak mencapai derajat bilangan perawi mutawatir.
2.      Hadits aziz, hadits yaitu diriwayatkan oleh dua orang perawi dalam tiap thabaqat.
3.      Hadits gharib, hadits yaitu diriwayatkan oleh satu orang perawi.[8]
Adapun bila dilihat dari segi kualitasnya, hadits ahad terbagi menjadi tiga tingkatan.
1.      Hadits Shahih, merupakan hadits yang sanadnya tidak terputus dari awal sampai akhir dan diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan teliti. Periwayatan hadits tersebut juga juga tidak ada keganjilan dan kecacatan. Hadits shahih dapat dijadikan sebagai hujjah.[9] Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai ijma’ para uluma hadits dan sebagian ulama ushul dan fikih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.
2.      Hadits hasan, Secara bahasa, hasan berarti al-jamal, yaitu indah. Hasan juga dapat juga berarti sesuatu sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadits hasan karena melihat bahwa ia merupakan pertengahan antara hadits shahih dan hadits dha’if, dan juga karena sebagian ulama mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya.
Definisi Tirmidzi: yaitu semua hadits yang diriwayatkan, dimana dalam sanadnya tidak ada yang dituduh berdusta, serta tidak ada syadz (kejanggalan), dan diriwatkan dari selain jalan sepereti demikian, maka dia menurut kami adalah hadits hasan.
Definisi Ibnu Hajar: beliau berkata, hadits ahad yang diriwayatkan oleh yang adil, sempurna ke-dhabit-annya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz (janggal) maka dia adalah hadits shahih li-dzatihi, lalu jika ringan ke-dhabit-annya maka dia adalah hadits hasan li dszatihi.
Kriteria hadits hasan sama dengan kriteria hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabit-annya. yaitu hadits shahih lebih sempurna ke-dhabit-annya dibandingkan dengan hadits hasan. Tetapi jika dibandingkan dengan ke-dhabit-an perawi hadits dha’if tentu belum seimbang, ke-dhabit-an perawi hadits hasan lebih unggul.[10]
3.      Hadits dha’if, Definisi Hadits dhaif menurut Imam Al-Baiquni adalah:  "Setiap hadis yang tingkatannya berada dibawah hadits hasan (tidak memenuhi syarat sebagai hadis shahih maupun hasan) maka disebut hadits dho'if dan hadis (seperti) ini banyak sekali ragamnya."
Suatu hadits dikategorikan lemah disebabkan oleh:
·         Terputusnya rantai periwayatan (sanad)
·         Adanya kelemahan/cacat pada seorang atau beberapa orang penyampai riwayat (perawi) hadis tersebut.
Terdapat berbagai tingkatan derajat hadis lemah, mulai dari yang lemahnya ringan hingga yang parah bahkan palsu. Ibnu Hibban telah membagi hadits dhaif menjadi 49 (empat puluh sembilan) jenis.[1] Di antara macam-macam tingkatan hadis yang dikategorikan lemah, seperti:
a)   Mursal: Hadis yang disebutkan oleh Tabi'in langsung dari Rasulullah S.A.W tanpa menyebutkan siapa shahabat yang melihat atau mendengar langsung dari Rasul. Digolongkan sebagai hadis lemah karena dimungkinkan adanya Tabi'in lain yang masuk dalam jalur riwayatnya (namun tidak disebutkan). Jika dapat dipastikan perawi (periwayat) yang tidak disebutkan tersebut adalah seorang shahabat maka tidak tergolong sebagai hadis lemah.
b)  Mu'dhol: Hadis yang dalam sanadnya ada dua orang rawi atau lebih yang tidak dicantumkan secara berurut.
c)   Munqathi (terputus): Semua hadis yang sanadnya tidak bersambung tanpa melihat letak dan keadaan putusnya sanad. Setiap hadis Mu'dhal adalah Munqathi, namun tidak sebaliknya.
d)    Mudallas: Seseorang yang meriwayatkan dari rawi fulan sementara hadis tersebut tidak didengarnya langsung dari rawi fulan tersebut, namun ia tutupi hal ini sehingga terkesan seolah ia mendengarnya langsung dari rawi fulan. Hadis mudallas ada dua macam, yaitu Tadlis Isnad (menyembunyikan sanad) dan tadlis Syuyukh (menyembunyikan personal).
e)      Mu'an'an: Hadis yang dalam sanadnya menggunakan lafal fulan 'an fulan (riwayat seseorang dari seseorang).
f)       Mudhtharib (guncang): Hadis yang diriwayatkan melalui banyak jalur dan sama-sama kuat, masing-masingnya dengan lafal yang berlainan/bertentangan (serta tidak bisa diambil jalan tengah).
g)      Syadz (ganjil): Hadis yang menyelisihi riwayat dari orang-orang yang tsiqah (terpercaya). Atau didefinisikan sebagai hadis yang hanya diriwayatkan melalui satu jalur namun perawinya tersebut kurang terpercaya jika ia bersendiri dalam meriwayatkan hadis.
h)      Munkar: Hadis yang diriwayatkan oleh perawi kategori lemah yang menyelisihi periwayatan rawi-rawi yang tsiqah.
i)        Matruk: Hadis yang di dalam sanadnya ada perawi yang tertuduh berdusta.
j)        Maudhu'(Hadis palsu): Hadis yang dipalsukan atas nama Nabi, di dalam rawinya ada rawi yang diketahui sering melakukan kedustaan dan pemalsuan.
k)      Bathil: Sejenis Hadis palsu yang (jelas-jelas) menyelisihi prinsip-prinsip syariah.
l)        Mudraj: Perkataan yang diucapkan oleh selain Nabi yang ditulis bergandengan dengan Hadits Nabi. Sehingga dapat dikira sebagai bagian dari hadis. Umumnya berasal dari perawi hadisnya, baik itu sahabat ataupun yang dibawahnya, diucapkan untuk menafsirkan, menjelaskan atau melengkapi maksud kata tertentu dalam lafal hadis.[11]
hadits dho’if tidak boleh dijadikan sandaran hukum karena periwayat hadits dho’if termasuk orang yang fasik.[12]
Ijtihad
Ijtihad menurut bahasa adalah bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran. sedangkan menurut istilah syara’ ijtihad adalah mencurahkan seluruh kemmpuan dan pikiran dengan sungguh-sungguh dalam menetapkan hukum syariat dengan cara-cara tertentu. Ijtihad merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al-qur’an dan hadis,  yang berfungsi untuk menetapkan suatu hukum  apabila hukum tersebut tidak dibahas didalam Al-Qur’an dan hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan yang matang. orang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid. Orang yang melakukan ijtihad (mujtahid) harus benar-benar orang yang taat  dan memahami  betul isi Al-Qur’an dan hadis. Berikut syarat-syarat menjadi seorang mujtahid.
Syarat-Syarat Menjadi Ijtihad (Mujtahid)
a)      Seorang Mujtahid harus mengetahui betul ayat dan sunnah yang berhubungan dengan  hukum.
b)      Seorang Mujtahid harus mengetahui masalah-masalah yang telah di ijma’kan oleh para ahlinya
c)      Seorang Mujtahid harus mengetahui bahasa arab dan ilmu-ilmunya dengan sempurna.
d)     Seorang Mujtahid harus mengetahui nasikh dan mansukh.
e)      Seorang Mujtahid harus mengetahui ushul fiqh
f)       Seorang Mujtahid harus  mengetahui dengan jelas rahasia-rahasia tasyrie'.
g)      Seorang Mujtahid harus menghetahui kaidah-kaidah ushul fiqh
h)      Seorang Mujtahid harus mengetahui seluk beluk qiyas.
Ijtihad berfungsi untuk menetapkan suatu hukum  yang hukum tersebut tidak ditemukan dalilnya didalam Al-Qur’an dan hadis. Sedangkan kalau masalah-masalah yang ada dalilnya didalam Al-Qur’an dan hadis maka tidak boleh diijtihadkan lagi.
Macam-Macam Ijtihad meliputi
a)      Ijma'
Ijma’ ialah kesepakatan hukum yang diambil dari fatwa atau musyawarah para Ulama tentang suatu perkara yang tidak ditemukan hukumnya didalam Al qur'an ataupun hadis. Tetapi rujukannya pasti ada didalam Al-qur’an dan hadis. ijma’ pada masa sekarang itu diambil dari keputusan-keputusan ulama Islam seperti MUI. Contohnya hukum mengkonsumsi ganja atau sabu-sabu adalah haram, karena dapat memabukkan dan berbahaya bagi tubuh serta merusak pikiran. 
b)      Qiyas
Qiyas adalah menyamakan yaitu menetapkan suatu hukum dalam suatu perkara baru yang belum pernah masa sebelumnya namun memiliki kesamaan seperti sebab, manfaat, bahaya atau  berbagai aspek dalam perkara sebelumnya sehingga dihukumi sama. Contohnya seperti pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan “ah” kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan dan menghina, sedangkan memukul orang tua tidak disebutkan. Jadi diqiyaskan oleh para ulama bahwa hukum memukul dan memarahi orang tua sama dengan hukum mengatakan Ah yaitu sama-sama menyakiti hati orang tua dan sama-sama berdausa.
c)      Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah ialah suatu cara menetapkan hukum  berdasarkan atas pertimbangan kegunaan dan manfaatnya.  Contohnya: di dalam Al Quran ataupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
d)     Saddu adzari’ah
Saddu adzari’ah  adalah memutuskan suatu perkara yang mubah makruh atau haram demi kepentingan umat.
e)      Istishab
Istishab adalah  tindakan dalam menetapkan suatu ketetapan sampai ada alasan yang mengubahnya. Contohnya:  seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu ataupun belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang/ yakin kepada keadaan sebelum ia berwudhu’,  sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
f)       ‘Uruf
‘Uruf  yaitu suatu tindakan dalam menentukan suatu perkara berdasarkan adat istiadat yang berlaku dimasayarakat dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis. Contohnya : dalam hal jual beli.  Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang ia beli dengan tidak mengadakan ijab Kabul, karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.
g)      Istihsan
Istihsan yaitu suatu tindakan dengan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya, disebabkan adanya suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Contohnya: didalam syara’, kita dilarang untuk mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syara’ memberikan rukhsah yaitu kemudahan atau keringanan, bahwa jual beli diperbolehkan dengan sistem pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.[13]
Berdasarkan uraian di atas sumber hukum Islam dibagi menjadi tiga yakni Al-Qur’an, Al-Hadits, dan Hasil Ijtihad.


[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Sumber-sumber_hukum_Islam
[2] https://dalamislam.com/landasan-agama/dasar-hukum-islam
[3] http://pengertianahli.id/2014/02/pengertian-al-quran.html
[4] Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Al-Islam dan Kemuhammadiyahan untuk SMA/MA dan SMK/MAK Muhammadiyah Kelas X semester 1, (Yogyakarta: Mentari Pustaka, 2008), h. 66.
[5] http://irvansyahfa.blogspot.com/2013/03/pengertian-dan-fungsi-al-quran-dan.html
[6] http://chalouiss.blogspot.com/2012/09/al-hadis-arti-dan-fungsinya.html
[7] https://www.abufurqan.net/hadits-mutawatir-dan-hadits-ahad/
[8] https://muslim.or.id/25580-hadits-ahad-hujjah-dalam-aqidah.html
[9] Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Al-Islam dan Kemuhammadiyahan untuk SMA/MA dan SMK/MAK Muhammadiyah Kelas X semester 1, (Yogyakarta: Mentari Pustaka, 2008), h. 68
[10] http://www.konsultasislam.com/2011/03/apa-itu-hadits-shahih-hasan-dan-dhaif.html
[11] https://id.wikipedia.org/wiki/Hadits_Dha%27if
[12] https://rumaysho.com/942-hadits-dhoif-bolehkah-dijadikan-sandaran-hukum.html
[13] http://www.akidahislam.com/2016/11/pengertian-fungsi-dan-macam-macam_20.html

Friday, December 7, 2018

AQIDAH IBNU SINA



Dalam Majalah Al-Muslimun nomor 247 dimuat resensi buku yaitu “Ibnu Sina sosok Ilmuwan Muslim”. Penulis resensi buku itu tidak mengerti siapa sebenarnya Ibnu Sina? Kalau kita ingin menulis makalah tentang syakhshiyyah (pribadi seseorang) lebih dahulu kita harus merujuk kitab-kitab yang dikarang oleh Ulama-ulama Islam yang terdahulu yang masyhur, apa kata mereka tentang pribadi seseorang, baru kita pakai sebagai penguat itu ialah ucapan para ulama yang belakangan. Kita lebih percaya kepada para Salafush-shalih dan orang yang mengikuti jejak mereka ketimbang ulama yang belakangan yang telah banyak menyimpang dari Manhaj mereka.
Para penulis yang memuji Ibnu Sina kebanyakan dari ahli filsafat dan Orientalist serta para ahli kedokteran, oleh karena itu semua buku yang menulis tentang Ibnu Sina selalu mereka merujuk kepada buku-buku Orientalist dan ahli filsafat. Mereka memuji Ibnu Sina karena kekaguman mereka terhadap karya-karyanya, di antara bukunya yang terkenal ialah “al-Qa-nuun fit-Thibb”(Canon of Medicine / Konstitusi ilmu kedokteran).
Kita harus ingat, bahwa pujian yang mereka lontarkan tentunya mempunyai tujuan untuk merusak Islam, karena Ibnu Sina seorang ahli filsafat di samping ia ahli kedokteran dan buku-bukunya tentang filsafat sudah beredar di mana-mana. Dengan pujian dan menganggap ia sebagai seorang “Muslim” membuat kaum Muslimin berusaha membaca karya-karanya tentang filsafat yang isinya adalah racun bagi ummat Islam, sesat dan menyesatkan.
Ibnu Sina Biografi dan Aqidahnya
Ibnu Sina (Avicenna) lahir pada bulan Shafar lahun 370 Hijriyyah / 980 M wafat tahun 1037 M, sejak masa remaja ia sudah kagum dcngan ilmu filsafat, ia banyak mengambil ilmu filsafat dari Ariestoteles. Filsafat ini dikembangkan oleh Ibnu Sina.
Filsafat yang dianut olch Ariestoteles dan Ibnu Sina menurut ahli filsafat merupakan filsafat yang sangat-sangat aneh, karena keduanya berpendapat bahwa alam ini ada sebelum adanya (Allah), sedangkan para filosof sebelumnya berkata bahwa alam ini baru (diciptakan), dan penciptanya ada.[1]
Ariestoteles dan lbnu Sina berpendapat bahwa Allah Subhana wa Ta’ala tidak mempunyai kekuasaan apa-apa dan tidak mengetahui sesuatu dan keduanya tidak beriman kepada Malaikat.
Malaikat menurut mereka adalah khayalan para Nabi yang berupa cahaya. Malaikat tidak bergerak, tidak naik, tidak turun, tidak berbicara, tidak menulis amal-amal hamba, tidak berpindah-pindah, tidak shalat, tidak rnencabut nyawa, tidak menulis rezeki, ajal dan amal, tidak ada di kanan dan di kiri manusia dll.
Scmua ini menurut Ibnu Sina tidak ada hakikatnya.[2]
Mereka tidak percaya kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah Subhana wa Ta’ala melalui Malaikat, karena dia tidak bisa berkata apa-apa dan tidak akan berkata dan Malaikat tidak boleh berkata-kata.[3]
Keyakinan Ibnu Sina yang Sesat tentang Nabi dan Rasul
Rasul-Rasul dan Nabi-nabi menurut Ibnu Sina adalah bualan semata dan bukan utusan dari Allah Subhana wa Ta’ala. Para Nabi dan Rasul mempunyai 3 karakteristik, jika hal ini ada maka ia (menurut dia Ibnu Sina.ed) Nabi :
1.      Kekuatan menduga (mengetahui perkara berdasarkan pcrkiraan) hingga ia tahu dengan cepat batas pertengahan dari Sesuatu.
2.      Kekuatan mengkhayal, seperti para Nabi mengkhayalkan bentuk cahaya serta cahaya itu dapat bercakap dengan dia dan ia dapat mendengar (cahaya yang dimaksud ialah Malaikat).
3.      Kekuatan untuk mempengaruhi orang, dan ini dilakukan semata-mata dengan jiwa. Semua ini bisa dilakukan dengan usaha.
Ibnu Sina berkata : “Filsafat itu merupakan kenabian khusus, adapun kenabian adalah merupakan filsafat umum.”[4]
Pandangan Ibnu Sina tentang Hari Kiamat
lbnu Sina dalam bukunya “ar-Risalah al-Adhhawiyyah fi Amril Ma’ad” (cet. Darul Fikr al-’Arabiy-Kairo th. 1368 H / 1949 M) ia berkeyakinan tidak beriman kepada pecahnya langit, berhamburannya bintang-bintang, bangkitnya manusia dengan jasadnya, dan tidak percaya bahwa Allah ‘Azza wa Jalla mengadakan alam ini dari tidak ada menjadi ada. Ia berkeyakinan alam ini Azaliy.[5]
Ibnu Sina adalah Pengikut Aliran Syi’ah Sekte Qaramithah Bathiniyyah
Ibnu Sina pernah memberitahukan tentang dirinya :
Aku dan Ayahku mengikuti ajaran al-Hakim[6] (1) Dengan begitu jelaslah bahwa Ibnu Sina termasuk Sekte Qaramithah Bathiniyyah (2) sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Dr. Rasyad Salim, Muhammad ilamid al-Faqiy dan Dr. Shabir Tha’iimah.
Keterangan :
(1). Al-Hakim adalah Manshur bin al’Aziz Billa Nizar bin al-Mu’iz-Billa al-’Abidiy Sulthan ke III, Kesultanan Syi’ah Fathimiyyah (Dibunuh oleh Sulthan Mahmud Al-Ghazi As-Saljuqi At-Turkey Rahimahullah dari Daulah As-Salajiqah pada Tahun 386 H / 996 M), khalifah Pendusta dan Jahat yang pernah menguasai seluruh wilayah Afrika Utara.
Ia mendakwakan dirinya sebagai Tuhan, ia banyak membunuh para ulama (tidak dapat dihitung bilangan ulama yang terbunuh, karena hanyaknya).
Ia menulis di Masjid-masjid Jami’ caci makian terhadap Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Aisyah dan para shahabat lainnya. Dia-lah sekarang yang dijadikan sesembahan oleb kelompok Druzz di Libanon dan Isma’iliyyah di India.[7]
(2). Dinisbatkan kepada Hamdan bin al-Ash’ats, dikenal dengan Qurmuth karena ia orangnya pendek / jadi, pendek langkahnya (qurmuth). Ia seorang pembajak tanah di Kufah. Ia termasuk kelompok Kebathinan, mereka mengaku bahwa mereka orang Syi’ah, mereka adalah Atheis dan Zindiq (orang yang pura-pura Islam). Tahun 286 H mereka mulai mcnampakkan da’wahnya (kcpada kesesatan) melalui Sa’id al-Hasan bin Bahram al-Janabiy setelah ia mengikuti Qaramithah.
Kemudian da’wah Qaramithah berkembang dan banyaklah orang-orang jahat yang mengikutinya. Mereka pernah memasuki kota Makkah pada hari Tarwiyah tgl 8 Dzulhijjah tahun 317 H.
Mereka membunuh jama’ah hajji yang sedang Thawaf (mengelilingi Ka’bah) mereka mencabut pintu Ka’bah dan Kiswahnya, dan orang-orang yang dibunuh dimasukkan ke Sumur Zamzam.
Mereka mencopot Hajar Aswad dan mereka bawa ke Qothief dan tinggal di sana kurang- lebih selama 22 tahun.
Setelah Dunia Islam panik dengan kejahatan Qaramithah, barulah Khalifah Abbasiyyah al-Muthi’ Billah al-Fadhl Bin al-Muqtadir Rahimahullah mengembalikan Hajar Aswad ketempatnya.
Sebenarnya sebelum itu juga mereka telah membunuh orang-orang yang ingin melaksanakan ibadah haji dan menawan wanita-wanitanya.[8]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata : “Semua kelompok Qaramithah LEBIH KUFUR dari Yahudi dan Nasrani bahkan lebih kufur dari kebanyakan kaum Musyrikin, karena mereka lebih berbahaya dari kafir harbiy, mereka berpura-pura mencintai Ahul Bait padahal pada hakikatnya mereka tidak beriman kepada Allah, Rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, tidak beriman kepada perintah, larangan, ganjaran dan siksa.
Dan mereka tidak beriman kepada Surga dan Neraka dan tidak juga beriman kepada seorangpun dari para Rasul sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. mereka mengambil dalil al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah dari Ulama kaum Muslimin tetapi mereka ta’wilkan dan mereka mengada-adakan dusta serta menda’wakan bahwa yang demikian itu adalah ilmu Bathin.”[9]
BEBERAPA BANTAHAN PARA ULAMA TENTANG BUKU-BUKU IBNU SINA
1.      Syaikh Muhammad asy-Syahrastani rahimahullah (lahir th 479 H wafat th 548 H), ia mengarang satu buku yang berjudul “al-Mushara’ah”.[10] Isi buku itu membantah keyakinan Ibnu Sina yang menyatakan bahwa alam ini terdahulu, keyakinan dia tentang tidak adanya Hari Kiamat (dibangkitkan dengan jasad) serta ia berkeyakinan Allah tidak mempunyai ilmu dan kekuasaan. Beliau (Imam Muhammad asy-Syahrastani rahimahullah) menjelaskan bahwa keyakinan Ibnu Sina itu BATHIL. Tetapi Ibnu Sina tidak mau rujuk kepada kebenaran, bahkan ia menentang dan membantah buku Imam asy-Syairazy rahimahullah itu dengan mengarang satu buku yang berjudul “Mushara’atul Mushara’ah”, Di kitab itu Ibnu Sina menyatakan :
“Bahwasanya Allah tidak menciptakan langit dan Bumi dalam 6 (enam) hari, Allah tidak mengetahui sesuatu apapun, Allah tidak berbuat sesuatu dengan Qudrat dan Ikhtiyarnya dan Allah tidak membangkitkan manusia dari Kuburnya.”[11]
Setelah membawakan pendapat Imam asy-Syahrastani rahimahullah yang menyatakan ajaran Ibnu Sina itu Bathil, Imam lbnul Qayyim rahimahullah berkata :
“Kesimpulannya Ibnu Sina itu Seorang ATHEIS, Yang KUFUR KEPADA ALLAH, kepada para MalaikatNya, Kufur kepada Kitab-kitab Nya, Kufur kepada Rasul-Rasul Nya dan Kufur kepada hari Kiamat.”[12]
Selanjutnya Imam lbnul Qayyim rahimahullah berkata: “(Menurut ukuran kejelekan), Agama kaum Musyrikin lebih baik dari ajaran Ibnu Sina, al-Farabi dan para pengikutnya (maksudnya kejelekan kaum Musyrikin lebih ringan dibanding kejelekan Ibnu Sina-pen) karena penyembah-penyembah berhala masih mempercayai Allah sebagai al-Khaliq (pencipta) yang mengadakan dari tidak ada, mereka percaya bahwa Allah BERKUASA DAN HIDUP, Penyembah berhala hanya berlaku syirik dalam soal ibadah. Allah Subhana wa Ta’ala berfirman:
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya.” Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” ( Qs. Az-Zumar : 3 ).
2.      Imam Ibnul Qusyairiy rahimahullah mernbantah bukunya Ibnu Sina yang berjudul: Asy-Syifa 3. Asy-Syifa itu sebuah buku Ensikilopedia Filsafat, bantahan beliau rahimahullah dituliskan dalam bentuk Sya’ir :
Kami putuskan persaudaraan dengan sekelompok orang yang sakit yaitu penulis buku asy-Syifa’.
Berapa kali kami sudah kuingatkan : Wahai kaumku! Kalian ini berada di tepi jurang (neraka) bersama penulis buku asy-Syifa’.
Maka tatkala mereka sudah meremehkan peringatan kami, maka kami kembali kepada Allah, Allah cukup (sebagai pelindung kami),
Mereka (Ibnu Sina dan para pengikutnya) mati dalam keadaan mengikuti Agama (‘ajaran,) Ariestoteles, sedangkan kami hidup mengikuti agama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.[13]
3.      Ibnul Jauzi al-Qurasyiy al-Baghdadiy rahimahullah berkata : “Kebanyakan AhIi Filsafat berkeyakinan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidak mengetahui sesuatu?? Ibnu Sina berkeyakinan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidak mengctahui yang partial?? Mereka adalah orang-orang yang PANDIR YANG TELAH DIHIASI OLEH IBLIS.”[14]
4.      Ibnu Sina menulis buku yang berjudul “al-Isyaaraat wat Tanbiihaat, buku ini ada beberapa jilid yang berisi tentang kayakinan di dalam masalah Dzat, Wujud dan sebagainya. Buku ini telah disyarah oleh seorang filosop Israel. Dan buku Ibnu Sina ini telah dibantah oleh Syaikhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitabnya Dar’u Ta’a-rudhul’Aql wan Naql jilid V dan halaman 87 sampai dengan halaman 152 tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim cet. th 1401 H/1981.M. Di halaman 130-131 Ibnu Taimiyyah berkata : “Mereka-mereka yang mengingkari adanya Malaikat adalah Kafir …. dan Ulama’ salaf telah sepakat bahwa mereka yang mengingkari sifat-sifat Allah adalah orang yang paling bodoh dan paling sesat.”
5.      Berkata Dr.Shabir Tha’iimah rahimahullah: “Aqidah kebathinan yang dianut oleh sekte Qaramithah, Isma’iliyah dan Nushairiyah adalah KAFIR karena mereka menolak Rukun Iman dan hukum-hukum Islam, dan mereka telah dipengaruhi oleh Filsafat Yunani, Persia dan India. Mereka mengaku-ngaku dirinya sebagai orang-orang Muslim? Padahal mereka sangat jauh dari Islam dan kaum Muslimin. Di antara tokoh-tokohnya ialah : Ibnu Mulkan, Ibnu Sab’in, IBNU ‘ARABY, AL-HALLAJ, IBNU SINA DAN dan yang selain mereka.”[15]
IBNU SINA DAN PARA PENGIKUTNYA MENURUT AL-QUR’AN
Ibnu Sina dan para pengikutnya menurut al-Qur’an adalah orang-orang bodoh, sombong, sesat dan Kafir. Allah Subhana wa Ta’ala Berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” ( Qs.Al-Mukmin : 56 ).
“Apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman.” Mereka menjawab: “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?” Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu.” ( Qs.Al-Baqarah : 13 ).
“Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa ketarangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh azab Allah yang selalu mereka perolok-olokkan itu.” ( Qs. Al-Mu’min : 83 ).
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” ( Qs.An Nisaa’ : 136 ).
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.” ( Qs. An Nisaa’ : 150-151 ).
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan akan menemui akhirat, sia-sialah perbuatan mereka. Mereka tidak diberi balasan selain dari apa yang telah mereka kerjakan.” ( Qs. Al A’raaf : 147 ).
Sesungguhnya seeeorang bisa dikatakan beriman apabila ia beriman kepada Allah, Malaikat- Malaikat-Nya, Kitab-kitabNya, Rasul-rasul-Nya, hari akhir dan apa yang ditakdirkan Allah kepada dirinya yang baik maupun yang buruk. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
,”Iman itu ialah : Engkau beriman kepada Allah, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada utusan-utusan Nya, kepada hari Kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk” ( Shahih Riwayat Imam Muslim no. 8 ).
Maka perhatikanlah bahwa Ibnu Sina tidak beriman kepada apa yang discbutkan dalam al-Qur’an dan apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dia malah mengikuti dan membela ajaran Ariestoteles, Syi’ah Qaramithah Bathiniyyah dan dia mati dalam keadaan meyakini ajaran yang sesat tersebut.
Allah Subhana wa Ta’ala berfirman :
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Qs.Al-‘Imran : 85).
Mungkin Ada orang yang berkata : “tidak boleh mengkafirkan seseorang dari ahli qiblat dengan sebab satu dosa “
kami jawab: Tetapi Ibnu Sina telah berbuat dosa-dosa besar dan telah MURTAD dari Islam dan dia telah KUFUR I’TIQADIY,
dan orang yang membela Ibnu Sina berarti ia telah menjadi pengikutnya, dan bisa disamakan hukumnya dengan dia.[16]

KESIMPULANNYA
Apabila kita mau menilai sescorang maka kita wajib menilai dengan neraca yang adil yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Tidak boleh kita menilai seseorang itu baik berdasarkan jasa-jasanya atau kehebatan maupun keahliannya, karena banyak sekali orang-orang kafir yang telah berjasa untuk kepentingan kaum Muslimin dan mereka tetap dikatakan kafir.
Pertama kali kita nilai seseorang adalah tentang aqidahnya, benar atau salah, musyrik, kafir atau mu’min dan sesudah itu baru yang lainnya.
Ibnu Sina menurut ukuran nilai Islam dia TELAH KAFIR, jadi Ibnu Sina bukanlah cendekiawan Muslim, tetapi CENDEKIAWAN KAFIR.
Ingat kita harus hati-hati terhadap pengaruh Filsafat Ibnu Sina yang dikembangkan oleh para Orientalis dan bertujuan untuk menyesatkan kaum Muslimin. Bila aqidah sudah hancur amal-pun pasti akan gugur.!
Oleh :
Al-Ustadz Yazid Ibn Abdul Qodir Jawaz
Sumber = https://aslibumiayu.net/10249-ibnu-sina-banyak-kaum-muslimin-yang-kagum-padanya-tahukah-anda-apa-akidahnya.html


[1] (Ighatsatul-Lahafan hal: 257).
[2] (Lihat: lghatsatul-Lahafan II : 261)
[3] (ibid : 262).
[4] (Lihat : Kitab lghatsatul Lahafan min Mashayidis Syaithan II hal: 262 oleh Al-Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, tahqiq Muhammad Hamid al-Faqiy cet. Darul Ma’rifah-Beirut ; dan Kitab al’Aqa-’id al-Bathiniyyah wa hukmul Islam fiiha hal : 247-248 oleh Dr. Shabir Tha’iimah cet. Maktabah ats-Tsaqafiyyah-Beirut).
[5] (lihat Dar’u Ta’arudhui ‘Aql wan Naql V:10 oleh Sayikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim cet. I th.1401 H / 1981 M; Ighatsatul Lahafan II hal. 262).
[6] (Ighatsatul-Lahafan 11 : 266)
[7] (Ta’liq Ighatsatul-Lahafan oleh Syekh Muhammad Hamid al-Faqiy II hal : 266).
[8] (Lihat : Ta’liq Ighatsatul-Lahafan oleb Syekh Muhammad Hamid al-Faqiy II hal: 248 dan al-’Aqa-id al-Bathiniyyah oleh Dr. Shabir Tha’imah hal : 221 s/d 236)
[9] (Lihat: Fatawa Syaikhul Islam Jiid 35 halaman : 149-150)
[10] [Buku yang ditulis oleh Imam Syahrastani adalah penyempurnaan dari buku Imarn Shadaruddin Asy-Syairazy rahimahullah, yang sebenarnya buku ini dibantah lagi oleh Ibnu Sina di saat Syairazy rnasih hidup, dua buku ini sudah dibaca oleh Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah rahimahullah. (Lihat: Al-Milal wan Nihal dan al-Ighatsah)].
[11] (Lihat : Ighatsatul lahafan II hal. 266)
[12] (Ighatsatul.Lahfan 11 : 267)
[13] (Lihat: Fatawa Ibnu Taimiyyah 9 hal. 253)
[14] (Talbiisu Iblis oleh Ibnu Jauzi hal : 47, Tahqiq Mahmud Mahdi al-Istambuli cet. Muassasah ‘ulumul Qur’an-Damaskus).
[15] (Lihat al-’Aqaaid al-Bathiniyyah wa hukmul Islam fiiha halaman 242 s/d 249).
[16] (Lihat al-Wala’ wal Bara’fil Islam bab Nawaqidhul Islam hal : 75 oleh Muhammad bin Sa’id bin Salim al-Qahthani MA cet. Daar Thayyibah dan al Imam Akamuhu haqiqatuhu Nawaqidhuhu hal. 219 dan 241 olch Dr. Muhammad Na’im Yasin, cet. V Mahtu-batul falaah 1407/1987).

DERAJAT HADITS TENTANG ARWAH MENGUNJUNGI KELUARGA




Dikeluarkan oleh Abul Husain Ali bin Ahmad Al Hakkari dalam kitab Hadiyyatul Ahya ilal Amwat wa Maa Yashilu Ilaihim (6) dengan sanad sebagai berikut,

أخبرنا أبو عبد الرحمن محمد بن الحسين بن موسى السلمي كتابةً قال: ثنا أبو القاسم عبد الله بن محمد النيسابوري عن علي بن موسى البصري، عن ابن جريج، عن موسى بن وردان، عن أبي هريرة، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((اهدوا لموتاكم)) ، قلنا: وما نهدي يا رسول الله الموتى؟ قال: ((الصدقة والدعاء)) ثم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إن أرواح المؤمنين يأتون كل جمعة إلى سماء الدنيا فيقفون بحذاء دورهم وبيوتهم فينادي كل واحد منهم بصوت حزين: يا أهلي وولدي وأهل بيتي وقراباتي، اعطفوا علينا بشيء، رحمكم الله، واذكرونا ولا تنسونا، وارحموا غربتنا، وقلة حيلتنا، وما نحن فيه، فإنا قد بقينا في سحيق وثيق، وغم طويل، ووهن شديد، فارحمونا رحمكم الله، ولا تبخلوا علينا بدعاء أو صدقة أو تسبيح، لعل الله يرحنا قبل أن تكونوا أمثالنا، فيا حسرتاه وانداماه يا عباد الله، اسمعوا كلامنا، ولا تنسونا، فأنتم تعلمون أن هذه الفضول التي في أيديكم كانت في أيدينا، وكنا لم ننفق في طاعة الله، ومنعناها عن الحق فصار وبالاً علينا ومنفعته لغيرنا، والحساب والعقاب علينا

Abdirrahman Muhammad bin Al Husain bin Musa As Sulami secara kitabah, ia berkata, Abul Qasim Abdullah bin Muhammad An Naisaburi menuturkan kepadaku, dari Ali bin Musa Al Bashri, dari Ibnu Juraij, dari Musa bin Wirdan, dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Kirimlah hadiah untuk orang-orang yang meninggal di antara kalian.” Para sahabat bertanya, “Apa yang kami kirimkan wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Sedekah dan doa.”Kemudian  Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya arwah-arwah kaum mu’minin itu datang setiap hari Jum’at ke langit dunia, lalu mereka berdiri di atas sandal-sandal rumah mereka atau di rumah mereka. Lalu setiap mereka memanggil-manggil dengan suara yang sedih, “wahai keluargaku, wahai anakku, wahai ahli baitku, wahai kerabatku, kasihilah dengan sesuatu, semoga Allah merahmati kalian. Ingatlah kami dan janganlah kalian lupa kepada kami. Kasihilah kesendirian kami dan ketidak-mampuan kami untuk melakukan apa-apa, tidak ada yang bisa kami lakukan lagi. Karena sekarang kami tinggal di alam yang jauh dan mengikat, yang suram dan lama, dan dalam kelemahan yang sangat lemah, maka kasihilah kami semoga Allah merahmati kalian. Dan janganah kalian pelit dalam memberikan doa, sedekah atau tasbih kepada kami. Semoga Allah mengasihi kami sebelum kalian menjadi semisal kami. Jangan sampai menyesal wahai hamba Allah. Dengarlah perkataan kami, jangan lupakan kami. Kalian tahu benar bahwa karunia yang kalian miliki sekarang dulu ada di tangan kami. Kami dahulu tidak menginfakkannya dalam ketaatan kepada Allah, kami tidak membelanjakannya dalam kebenaran. Sehingga semua itu menjadi bencana bagi kami sekarang dan manfaat harta-harta itu malah didapatkan oleh orang lain. Sedangkan adzab dan hukumannya ditimpakan atas kami.”

Riwayat ini disebutkan juga dalam I’anatut Thalibin (2/161) karya Ad-Dimyathi tanpa sanad dengan lafadz,

أن أرواح المؤمنين تأتي في كل ليلة إلى سماء الدنيا وتقف بحذاء بيوتها، وينادي كل واحد منها بصوت حزين ألف مرة. يا أهلي، وأقاربي، وولدي. يا من سكنوا بيوتنا، ولبسوا ثيابنا، واقتسموا أموالنا

“Sesungguhnya arwah-arwah kaum mu’minin itu datang ke langit dunia setiap malam, lalu mereka berdiri di atas sandal-sandal rumah mereka. Lalu mereka memanggil-manggil dengan suara yang sedih sebanyak 1000 kali: ‘wahai keluargaku…’, ‘wahai kerabatku…’, ”wahai anakku…’. ‘Wahai orang-orang yang tinggal di rumah-rumah kami…’, ‘wahai orang-orang yang memakai baju-baju kami…’, ‘wahai orang-orang yang membagi harta-harta kami…’”

Disebutkan juga dalam Tuhfatul Habib ‘ala Syarhil Khathib atau dikenal dengan Hasyiyah Al Bujairimi ‘ala Khathib (2/301) karya Al Bujairimi tanpa sanad. Al Bujairimi menyandarkan riwayat ini kepada Al Jami’ Al Kabir namun –wallahu a’lam– tidak kami temukan riwayat tersebut dalam Al Jami’ Al Kabir karya As Suyuthi. Walhasil, tidak ada sanad lain selain sanad di atas yang kami temukan. Dan dari sini juga kita ketahui bahwa hadits ini tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits yang mu’tamad,

Jika kita teliti sanad di atas, sangat bermasalah.

Masalah 1:

Ibnu Juraij (Abdul Malik bin Abdil  Aziz Al Qurasyi) tidak meriwayatkan dari Musa bin Wirdan. Ibnu Adi mengatakan:

فإذا روى ابن جريج عن موسى هذا الحديث يكون قد دلسه

“Jika Ibnu Juraij meriwayatkan dari Musa, maka haditsnya ini terkadang merupakan tadlis Ibnu Juraij” (Al Ilal Al Waridah fil Ahadits An Nabawiyyah, 8/318).

Al Albani ketika menjelaskan maudhu’-nya hadits:

من مات مريضاً مات شهيداً

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan sakit, ia mati syahid”

Beliau mengatakan:

خالفهم الحسن بن زياد اللؤلؤي فقال: حدثنا ابن جريج عن موسى بن وردان به، فأسقط من السند إبراهيم بن محمد

“Al Hasan bin Ziyad Al Lu’lui menyelisihi riwayat ini, ia berkata: Ibnu Juraij menuturkan kepada kami, dari Musa bin Wirdan dan seterusnya. Al Hasan menggugurkan Ibrahim bin Muhammad (antara Ibnu Juraij dan Musa bin Wirdan) dalam sanad ini” (Silsilah Ahadits Adh Dha’ifah, 10/191).

Maka jelas bahwa Ibnu Juraij tidak meriwayatkan dari Musa bin Wirdan, sehingga ada inqitha‘ (terputusnya sanad) dalam riwayat ini.

Masalah 2:

Ali bin Musa Al Bashri dan Abul Qasim Abdullah bin Muhammad An Naisaburi, keduanya majhul haal. Tidak ditemukan adanya jarh atau ta’dil tentang mereka. Juga tidak diketahui bahwa Ali bin Musa Al Bashri adalah di antara yang meriwayatkan hadits dari Ibnu Juraij. Juga, tidak diketahui bahwa Muhammad bin Al Husain bin Musa Al Sulmi meriwayatkan dari Abul Qasim Abdullah bin Muhammad An Naisaburi.

Masalah 3:

Muhammad bin Al Husain bin Musa Al Sulmi, seorang syaikh sufi, ia perawi yang lemah. Adz Dzahabi berkata,

شيخ الصوفية وصاحب تاريخهم وطبقاتهم وتفسيرهم. تكلموا فيه وليس بعمدة

“Beliau seorang Syaikh sufi. Ulama tarikh, biografi dan tafsir di kalangan sufi. Para ulama hadits mengkritisi riwayatnya, dan ia tidak bisa dijadikan sandaran” (Lisanul Mizan, 6695).

Hadits ini juga sebagaimana sudah dijelaskan, tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits yang mu’tamad dan dikenal. Seperti kitab-kitab shahih, kitab-kitab sunan, kitab-kitab musnad, kitab-kitab jami’, dan lainnya. Dan ini merupakan indikator kelemahan bahkan kepalsuan hadits. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika menjelaskan kelemahan hadits seputar ziarah kubur Nabi beliau berkata,

ليس في الإحاديث التي رويت بلفظ زيارة قبره -صلى الله عليه وسلم- حديث صحيح عند أهل المعرفة، ولم يخرج أرباب الصحيح شيئاً من ذلك، ولا أرباب السنن المعتمدة، كسنن أبي داود والنسائي والترمذي ونحوهم، ولا أهل المساند التي من هذا الجنس؛ كمسند أحمد وغيره، ولا في موطأ مالك، ولا مسند الشافعي ونحو ذلك شيء من ذلك، ولا احتج إمام من أئمة المسلمين -كأبي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد وغيرهم- بحديث فيه ذكر زيارة قبره

“Hadits-hadits yang diriwayatkan dengan mengandung lafadz ‘ziarah kubur Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam‘ tidak ada yang shahih menurut para ulama hadits. Hadits-hadits seperti ini tidak pernah dibawakan oleh pemilik kitab Shahih, tidak juga pemilik kitab Sunan yang menjadi pegangan, seperti Sunan An Nasa-i atau semacamnya, tidak juga kitab Musnad yang menjadi pegangan, seperti Musnad Ahmad atau semacamnya, tidak juga kitab Muwatha Malik, tidak juga kitab Musnad Asy Syafi’i atau semacamnya. Hadits-hadits seperti ini tidak pernah dipakai para Imam Mazhab dalam berhujjah. Yaitu hadits yang didalamnya disebut lafadz ziarah kubur Nabi” (Majmu’ Fatawa, 216/27).

Dengan demikian, kesimpulannya hadits ini adalah hadits yang dhaif jiddan (sangat lemah). Dan tidak boleh meyakini suatu hal yang terkait dengan perkara gaib semisal dengan apa yang ada dalam riwayat ini kecuali dengan dalil yang shahih.

Wallahu ta’ala a’lam.

Penulis: Yulian Purnama
Sumber: https://muslim.or.id/34884-derajat-hadits-tentang-arwah-mengunjungi-keluarga.html