Sejak didirikan K.H. Ahmad Dahlan tahun 1912,
Muhammadiyah telah melewati berbagai peristiwa sejarah, seperti pemilu tahun
1955 yang banyak diwarnai partai-partai Islam.[1] Kisah perjalanan
Muhammadiyah dari masa ke masa, tergambar dalam alur periodesasi kepemimpinan
Muhammadiyah yang selalu menampakkan dinamika yang berbeda, menurut latar
situasi dalam waktu yang berbeda-beda.[2]
Perjalanan Muhammadiyah berdasarkan periodesasi
kepemimpinannya, terbagi menjadi beberapa fase yaitu fase
sebelum kemerdekaan, fase setelah kemerdekaan/orde lama, fase orde baru dan
fase reformasi. Adapun maksud dari artikel ini akan membahas keadaan
Muhammadiyah sebelum kemerdekaan dengan tujuan agar pembaca memahami bagaimana
kondisi Muhammadiyah sebelum Indonesia merdeka dan bagaimana perjuangan para
tokoh Muhammadiyah dalam mewujudkan cita-cita Muhammadiyah di kala itu. Dengan demikian
perjuangan para tokoh-tokoh pedahulu Muhammadiyah bisa menjadi teladan atau
inspirasi dalam kehidupan sehari-hari.
Sebelum kemerdekaan Muhammadiyah mengalami empat kali
pergantian pimpinan atau ketua. Adapun orang-orang yang pernah terpilih sebagai
ketua pimpinan pusat pada saat itu antara lain adalah KH. Ahmad Dahlan, KH.
Ibrahim, KH. Hisyam, KH. Mas Mansyur.[3]
1.
Periode Kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan.
Periode ini merupakan masa perintisan
pembentukan organisasi dan jiwa serta amal usaha. Selain itu masa pengenalan
ide-ide pembaharuan dalam metode gerakan amaliah Islamiyah. Ahmad dahlan
mengenalkan Muhammadiyah melalui beberapa cara, antara lain silaturahmi,
mujadalah (diskusi), Tausiyah-ma’idhoh hasanah, dan memberikan keteladanan
dalam praktek pengamalan ajaran Islam.
Pada periode KH. Ahmad Dahlan ini,
Muhammadiyah mengalami muktamar sebanyak sebelas kali dan semuanya di
selenggarakan di kota Yogyakarta. Kala itu muktamar lebih akrab dengan sebutan algemen
vergadering dan year vergadering. Seluruh muktamar Muhammadiyah di
selenggarakan di Yogyakarta, dikarenakan pada saat itu izin berdirinya
Muhammadiyah yang dikeluarkan pemerintahan Hindia Belanda hanya memperbolehkan
berada di lingkungan karesidenan Yogyakarta dan dilarang mendirikan cabang
diluar karesidenan ini.[4]
Pada periode ini dibentuk perangkat awal
seperti : Majelis Tabligh, Majelis Sekolahan dan pengajaran, Majelis Taman
Pustaka, Majelis Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), ‘Aisyiyah, Kepanduan
Hizbul Wathon (HW), menerbitkan majalah “SWORO MOEHAMMADIJAH”. Selain itu
mempelopori berdirinya rumah sakit umat Islam, Rumah Miskin, dan Panti Asuhan
Yatim/Piatu, serta menganjurkan dan mempelopori hidup sederhana, terutama dalam
menyelenggarakan Walimatul’Urusy (pesta perkawinan).[5]
Dalam mengadakan perubahan untuk meluruskan
kembali ajaran Islam, Ahmad dahlan menggunakan pendekatan pesuasif (ngemong dan
memberikan penjelasan), sehingga para para penentangnya simpati, bahkan ada
yang mengikuti gerakannya.
2.
Periode kepemimpinan KH. Ibrahim.
K.H. Ibrahim adalah adik Nyai Walidah/Nyai
Ahmad Dahlan. Beliau adalah adik ipar K.H. Ahmad Dahlan, merupakan ulama pondok
pesantren tidak pernah mengenyam pendidikan model barat.[6]
Muhammadiyah di masa kepemimpinan KH Ibrahim
mengalami perluasan dan perkembangan yang sangat pesat sampai ke daerah-daerah
luar Jawa. Pada masa itu, Muhammadiyah mulai menyelenggarakan muktamar di luar
kota Yogyakarta. Adapun tempat-tempat penyelenggaraan muktamar selain wilayah Yogyakarta,
antara lain meliputi : Surabaya, Pekalongan, Surakarta, Bukit Tinggi, Ujung
Pandang (Makassar) dan Semarang. Muktamar
Muhammadiyah pada saat itu dikenal dengan sebutan congres, rapat besar tahunan
dan perkumpulan tahunan.[7]
Pada periode ini mulai berdiri majelis tarjih
selaku unsur pembantu pimpinan Muhammadiyah dan dua ortom seperti Nasyiatul
Aisyiah dan Pemuda Muhammadiyah. Aktivitas yang menonjol antara lain mendirikan
“Fonds Dachlan” pada tahun 1924, untuk membeayai sekolah anak-anak miskin.
Mengadakan khitanan massal pertama kali (1925). Pada konggres di Surabaya tahun
1926 diputuskan Pemakaian Tahun Islam dalam catat-mencatat termasuk surat
menyurat dan Sholat Hari Raya di tanah lapang. Pada tahun 927 pada konggres di
Pekalongan muncul persoalan politik dengan keputusan pokok “Muhammadiyah TIDAK
bergerak dalam bidang POLITIK, namun memperbaiki budi pekerti yang luhur
(Akhlaqul Karimah) bagi orang yang akan berpolitik (tidak melarang anggotanya
berpolitik).
Pada tahun 1928 mulai mengirim putera &
puteri lulusan sekolah Muhammadiyah (dari Mu’allimien, Muallimat, Tabigschool,
Normalschool) di benum ke pelosok tanah air, sebagai “anak panah” Muhammadiyah.
Pada Konggres di Solo tahun 1929, Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster My (badan
usaha penerbitan buku-buku sekolah Muhammadiyah yang dikelola oleh Majelis
Taman Pustaka). Di konggres ini pula terjadi “Penurunan Gambar KHA Dahlan” (dan
dilarang untuk sementara waktu dipasang, karena ada gejala kultus). Pada
Konggres di Minangkabau tahun 1930 muncul eselon CONSUL HOFD BESTUUR
MUHAMMADIJAH (sekarang PWM). Pada konggres di Makasar 1932 antara lain
diputuskan penerbitan Koran Muhammadiyah (Dagblad Adil) dilaksanakan oleh
cabang Solo.
3.
Periode kepemimpinan KH. Hisyam.
Kyai Haji Hisyam lahir di Kauman, Yogyakarta,
10 November 1883 – meninggal 20 Mei 1945 pada umur 61 tahun adalah Ketua
Pengurus Besar Muhammadiyah yang ketiga. Ia memimpin Muhamadiyah selama tiga
tahun. Ia dipilih dan dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah
dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934. Ia adalah murid
langsung dari KH. Ahmad Dahlan. Pertama kali ia dipilih dalam Kongres Muhammadiyah
ke-23 di Yogyakarta tahun 1934, kemudian dipilih lagi dalam Kongres
Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin pada tahun 1935, dan berikutnya dipilih
kembali dalam Kongres Muhammadiyah ke-25 di Batavia (Jakarta) pada tahun 1936.[8]
Pada periode ini, bidang pendidikan mendapat porsi
yang mantap.[9]
Hal itu dikarenakan usaha-usaha dalam bidang pendidikan menjadi priortias
program di masa kepemimpinan KH. Hisyam. Selain itu pada periode ini juga diadakan
juga penertiban dan pemantapan administrasi organisasi, jadi Muhammadiyah lebih
kuat dan lincah. Adapun adminis trasi yang ditertibkan meliputi daftar anggota,
buku notulen rapat, buku keuangan dan lain sebagainya. Pada periode ini
Muhammadiyah mengalami tiga kali muktamar yang bertempat di Yogyakarta,
Banjarmasin dan Jakarta.[10]
Pada konggres tahun 1934 lebih dimantapkan
pengembangan lembaga pendidikan tingkat menengah dan mengubah sekolah dengan
nama Belanda menjadi nama khas kita, seperti: Volkschool menjadi Sekolah
Rakyat. Pada Konggres tahun 1935 memutuskan pembentukan Majelis Pimpinan
Perekonomian yang tugasnya membantu perbaikan ekonomi anggota (membentuk
semacam kooperasi). Pada tahun 1936 diadakan Konggres Seperempat Abad (XXV) di
Jakarta, diputuskan antara lain mendirikan sekolah Tinggi, dan mendirikan
Majelis Pertolongan & Kesehatan Muhammadiyah (MPKM) di seluruh cabang dan
ranting.[11]
4.
Periode kepemimpinan KH. Mas Mansyur.
KH. Mas Mansyur dikukuhkan sebagai Ketua
Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Jogjakarta pada
bulan Oktober 1937.[12] Pada
periode kepemimpinan KH. Mas Mansyur, Muhammadiyah mengalami lima kali
muktamar. Pelaksanaan muktamar berlangsung di kota Yogyakarta, Malang, Medan
dan Purwokerto.[13]
KH Mas Mansyur merupakan tokoh yang kreatif
dan terkenal sikapnya yang istiqomah dan pemberani, sehingga ikut dalam
pengisian jiwa gerakan Muhammadiyah, dan penegasan kembali faham agama yang
menjadi garis besar Muhammadiyah. Pada periode ini ditandai dengan penetapan
paham agama dalam Muhammadiyah, memaksimalkan Majelis Tarjih, sehingga
menghasilkan “Masalah Lima” (Dunia, Agama, Qiyas, Sabilillah, dan ibadah).
Selain itu menggerakkan Muhammadiyah lebih dinamis dan berbobot, dengan
konsepnya yang terkenal “Langkah Dua belas”nya. Kegiatan Muhammadiyah yang
menonjol saat itu antara lain :
a. Membentuk Komisi Perjalanan Haji (HM Suja’,
HA Kahar Mzkr & R. Sutomo)
b. Pembentukan Bank Muhammadiyah (Konggres di
Yogyakarta 1937)
c. Menentang Ordonansi Pencatatan Perkawinan
Oleh Pemerintah Belanda
d. Menentang Ondewijs Ordonansi (larangan guru
mengajar di Sekolah Muh.)
e. Mengganti seluruh istilah Hindia Belanda
dengan Indonesia
f. Mengeluarkan “Franco Amal” menghimpun dana
untuk kaum dhu’afa
g. Mulai dirintis semacam Khittah Muhammadiyah
h. Ikut mempelopori beririnya MIAI (Majelisul
Islam A’la Indonesia)[14]
[2] https://kamatblog.wordpress.com/2013/04/09/sejarah-kepemimpinan-muhammadiyah-dari-masa-ke-masa/
[3] http://bilaajengmeiayu.blogspot.co.id/2010/10/periodesasi-kepemimpinan-muhammadiyah.html.
[4] Edi Muslimin dkk, Al-Islam dan
Kemuhammadiyahan untuk Sekolah Menegah Muhammadiyah kelas XI semester gasal,
(Surakarta : Majelis Dikdasmen PDM Surakarta, 2014) hlm : 167
[5] https://kamatblog.wordpress.com/2013/04/09/sejarah-kepemimpinan-muhammadiyah-dari-masa-ke-masa/
[6] http://jepepastibisa.blogspot.co.id/2011/04/artikel-kemuhammadiyahan-kelas-xi_14.html
[7] Edi Muslimin dkk, Al-Islam dan
Kemuhammadiyahan untuk Sekolah Menegah Muhammadiyah kelas XI semester gasal,
Op. Cit., hlm : 168.
[8] https://id.wikipedia.org/wiki/Kyai_Haji_Hisyam.
[9] http://jepepastibisa.blogspot.co.id/2011/04/artikel-kemuhammadiyahan-kelas-xi_14.html
[11] https://kamatblog.wordpress.com/2013/04/09/sejarah-kepemimpinan-muhammadiyah-dari-masa-ke-masa/
[12] https://id.wikipedia.org/wiki/Mas_Mansoer#Kegiatan_di_Muhammadiyah.
[13] Edi Muslimin dkk, Al-Islam dan
Kemuhammadiyahan. Op.Cit., hlm : 169.
[14] https://kamatblog.wordpress.com/2013/04/09/sejarah-kepemimpinan-muhammadiyah-dari-masa-ke-masa/