A.
Pendahuluan
Filsafat pada dasarnya merupakan metode berpikir atau
cara memandang segala yang ada secara mendalam dan menyeluruh. Harun Nasution menyatakan
bahwa filsafat adalah berfikir menurut tata tertib (logis) dengan bebas (tak
terikat tradisi, dogma atau agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai
ke dasar-dasar persoalan.[1]
Dari pernyataan Harun Nasution tersebut, terdapat kata kunci yang perlu untuk
digarisbawahi yakni logis dan bebas. Agar tidak terjebak pada persepsi yang salah
maka penulis di sini akan menjabarkan maksud dari istilah logis dan bebas di
sini. Logis artinya dapat diterima akal dan benar menurut penalaran.[2]
Sedangkan bebas artinya memandang sesuatu secara menyeluruh dan apa adanya
tanpa terikat tradisi, dogma dan agama. Karena tujuan dari filsafat pada
dasarnya adalah mendapatkan kenyataan secara utuh dan menyeluruh. Oleh karena
itu dalam berfilsafat tidak boleh ada batasan agar gambaran yang didapat tidak
setengah setengah.
Filsafat merupakan sarana untuk meraih kebijaksanaan atau
pengetahuan yang utuh. Menurut Harold H. Titus, filsafat adalah suatu usaha
memahami alam semesta, maknanya dan nilainya. Apabila tujuan ilmu adalah
kontrol, dan tujuan seni adalah kreativitas, kesempurnaan, bentuk keindahan
komunikasi dan ekspresi, maka tujuan filsafat adalah pengertian dan
kebijaksanaan (understanding and wisdom).[3] Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebijaksanaan adalah kepandaian menggunakan akal
budinya (pengalaman dan pengetahuannya) serta kecakapan bertindak apabila
menghadapi kesulitan dan sebagainya.[4] Dengan
kebijaksanaan, manusia dapat mengontrol perilakunya. Perilaku manusia yang terkontrol
dapat mencegah atau setidaknya meminimalisir dampak negatif atau resiko yang
tidak diinginkan. Kebijaksanaan sangat diperlukan dalam menghadapi kesulitan,
karena untuk mendapatkan solusi yang tepat sasaran dari suatu problem
dibutuhkan sikap yang bijaksana.
Tujuan utama dari filsafat sebagaimana telah diuraikan di
atas adalah pengertian dan kebijaksanaan. Untuk meraih sutau tujuan maka hal
yang paling penting dan harus dilakukan adalah mempelajarinya. Tujuan utama
dari mempelajari sesuatu adalah agar mendapatkan asumsi yang benar, karena kesalahan
suatu asumsi, akan melahirkan teori, metodologi keilmuan yang salah pula.[5] Kesalahan
berasumsi seringkali menimbulkan kesalahan dalam bertindak, karena segala
bentuk perilakau manusia berasal dari asumsi yang diyakininya.
Salah satu cabang filsafat yang membahas mengenai hakikat
segala yang ada disebut dengan istilah ontologi. Adapun tujuan utama penulis
mengkaji ontologi adalah agar mendapatkan pengetahuan tentang metode yang benar
dan sistematis dalam merumaskan deskripsi dan hakikat dari segala sesuatu
supaya mendapatkan asumsi yang benar tentang sesuatu yang dipelajari sehingga
mampu bersikap secara benar pula.
B.
Definisi Ontologi
Ontologi adalah istilah yang diadobsi dari bahasa Yunani.
Ontologi pada dasarnya berasal dari dua kata yakni ontos dan logos. Ontos
berarti sesuatu yang berwujud (being) dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi
adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala
sesuatu yang ada menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab
akibat yaitu ada manusia, ada alam, dan ada kausa prima dalam suatu hubungan
yang menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan. Ontologi dapat pula
diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Obyek ilmu
atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau pancaindera.
Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman inderawi. Dengan kata lain,
ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud
(yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata.[6]
Ontologi merupakan salah satu dari tiga kajian Filasafat
Ilmu yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Beberapa tokoh Yunani yang
memiliki pemikiran yang bersifat ontologis adalah Thales, Plato, dan
Aristoteles. Pada masa Yunani ketika mithology masih memiliki pengaruh yang
kuat, kebanyakan orang belum mampu membedakan antara penampakan dengan
kenyataan. Bahkan pada masa tersebut ada banyak hal yang masih mengkaji
kejadian alam dalam bentuk mistis sebagai penanggung jawab dari fenomena alam
yang sulit untuk dimengerti. Ontologi juga dapat diartikan sebagai keberadaan
(The theory of being qua being) atau Ilmu tentang yang ada.[7]
Ontologi juga sering diidentikkan dengan metafisika, yang
juga disebut dengan proto-filsafat atau filsafat yang pertama atau filsafat
ketuhanan. Pembahasannya meliputi hakikat sesuatu, keesaan, persekutuan, sebab
dan akibat, substansi dan aksiden, yang tetap dan yang berubah, eksistensi dan
esensi, keniscayaan dan kerelatifan, kemungkinan dan ketidakmungkinan, realita,
malaikat, pahala, surga, neraka dan dosa.[8]
Menurut Pandangan The Liang Gie Ontologi adalah bagian
dari filsafat dasar yang mengungkap makna dari sebuah eksistensi yang
pembahasannya meliputi persoalan-persoalan.[9]
Menurut Suriasumantri ontologi membahas tentang apa yang
ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau, dengan kata lain suatu
pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Telaah ontologis akan menjawab
pertanyaan-pertanyaan ; a) apakah obyek ilmu yang akan ditelaah, b) bagaimana
wujud yang hakiki dari obyek tersebut dan c) bagaimana hubungan antara obyek
tadi dengan daya tangkap manusia (seperti
berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.[10]
Menurut Soetriono Menurut Soetriono bahwa definisi mengenai
ontologi merupakan asas dalam menerapkan batas atau mengenai ruang lingkup
suatu wujud yang menjadi objek dari penelaahan (objek ontologi atau obyek
formal dari pengetahuan) serta mengenai penafsiran mengenai hakikat realita
(metafisika) dari objek ontologi atau objek formal tersebut dan merupakan
landasan dari ilmu yang menanyakan terkait apa yang dikaji atau dibahas dalam
suatu pengetahuan dan biasanya berkaitan terhadap alam kenyataan dan
keberadaan.[11]
Menurut Ensiklopedia Britannica Ontologi adalah teori
atau studi tentang being atau wujud misalnya karakteristik dasar terhadap suatu
realitas. Ontologi persamaan dari metafisika yakni, studi filosofis untuk
menentukan sifat nyata yang asli (real nature) terhadap suatu benda dalam
menentukan suatu arti, struktur dan juga prinsip benda tersebut.[12]
Benang merah dari beragam pengertian tentang ontologi di
atas menegaskan bahwa tujuan utama dari kajian ontologi adalah untuk
mendapatkan gambaran utuh dan menyeluruh tentang suatu benda atau obyek. Gambaran
tersebut meliputi makna, struktur dan karakteristik.
C.
Pandangan Ontologi dalam Berbagai Aliran Filsafat.
1.
Monisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh
kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja
sebagai sumber asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa rohani. Tidak
mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri.[13] Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua
aliran yakni Idealisme dan Materialisme.
a.
Materialisme
Aliran
materialisme digolongkan menjadi bagian monisme karena pandangannya sama-sama
bertitik tolak dari satu dasar pandangan.[14] Aliran
ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan ruhani. Aliran
ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan
kenyataan dan satu-satunya fakta.[15]
Aliran
pemikiran ini dipelopori oleh bapak
filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Ia berpendapat bahwa unsur asal adalah air,
karena pentingnya bagi kehidupan. Anaximander (585-528 SM) berpendapat bahwa
unsur asal itu adalah udara, dengan alasan bahwa udara merupakan sumber dari
segala kehidupan. Demokritos (460-370 SM) berpendapat bahwa hakikat alam ini
merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat halus.
Atom-atom itulah yang merupakan asal kejadian alam.[16]
b.
Idealisme
Idealisme
diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.[10] Aliran ini
menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu yang tidak tampak.
Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru terletak dibalik yang fisik. Ia
berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya merupakan
bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu. Eksistensi benda fisik
akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang pada kebenaran sejati.[17] Dalam
perkembangannya, aliran ini ditemui dalam ajaran Plato (428-348 SM) dengan
teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di dalam mesti ada idenya yaitu
konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini
hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi, idelah yang menjadi hakikat
sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.[18]
2.
Dualisme
Aliran
ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal
sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan
spirit. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri,
sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam
ini. Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak
filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran
(rohani) dan dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de
la Methode (1637) dan Meditations de Prima Philosophia (1641). Dalam bukunya
ini pula, Ia menerangkan metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes
(metode keraguan Descartes/Cartesian Doubt). Disamping Descartes, ada juga
Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm von Leibniz
(1646-1716 M).[19]
3.
Pluralisme
Aliran
ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme
bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya
nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai
paham yang menyatakan bahwa kenyataan ini tersusun dari banyak unsur, lebih
dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras
dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan
terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara
Tokoh
modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M). kelahiran New York dan
terkenal sebagai seorang psikolog dan filosof Amerika. Dalam bukunya The
Meaning of Truth James mengemukakan, tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku
umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal.
Sebab pengalaman kita berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam
perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena dalam praktiknya apa
yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena
itu, tiada kebenaran yang mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran, yaitu
apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman yang khusus, yang setiap kali dapat
diubah oleh pengalaman berikutnya. Kenyataan terdiri dari banyak kawasan yang
berdiri sendiri. Dunia bukanlah suatu universum, melainkan suatu multi-versum.
Dunia adalah suatu. yang terdiri dari banyak hal yang beraneka ragam atau
pluralis.[20]
4.
Nihilisme
Nihilisme
berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin
yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah nihilisme
diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev pada tahun 1862 di Rusia. Doktrin tentang
nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan
Gorgias (485-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang realitas. Pertama,
tidak ada sesuatupun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat
diketahui. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan
dapat kita beritahukan kepada orang lain. Tokoh lain aliran ini adalah Friedrich
Nietzche (1844-1900 M). Dalam pandangannya dunia terbuka untuk kebebasan dan
kreativitas manusia. Mata manusia tidak lagi diarahkan pada suatu dunia di
belakang atau di atas dunia di mana ia hidup.[21]
5.
Agnostisisme
Paham
ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik
hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata agnostisisme berasal dari bahasa
Grik Agnostos, yang berarti unknown. A artinya not, gno artinya know. Timbulnya
aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan
secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal.
Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya
seperti, Soren Kierkegaar (1813-1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai
Bapak Filsafat Eksistensialisme, yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah
hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali
unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu orang lain. Berbeda dengan
pendapat Martin Heidegger (1889-1976 M), yang mengatakan bahwa satu-satunya
yang ada itu ialah manusia, karena hanya manusialah yang dapat memahami dirinya
sendiri. Tokoh lainnya adalah, Jean Paul Sartre (1905-1980 M), yang mengatakan
bahwa manusia selalu menyangkal. Hakikat beradanya manusia bukan entre (ada),
melainkan aentre (akan atau sedang). Jadi, agnostisisme adalah paham
pengingkaran/penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda,
baik materi maupun ruhani.[22]
D.
Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi
dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi
metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek;
sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua
sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang
menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi
adalah abstraksi metaphisik. Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh
Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan
pembuktian a posteriori. Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term
tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah
menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan. Sedangkan pembuktian a posteriori
secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas kesimpulan; dan term tengah
menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara
pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik.[23]
Contoh pembuktian apriori :
Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana (Tt-P)
Badan itu sesuatu yang lahiri (S-Tt)
Jadi, badan itu fana’
(S-P)
Contoh pembuktian aposterioris :
Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus (Tt-S)
Gigi geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan (Tt-P)
Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan (S-P)
E.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas tentang ontologi maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1.
Ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan
hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut tata hubungan sistematis
berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada alam, dan ada kausa prima
dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan.
2.
Aliran filsafat tentang ontologi ada lima yaitu monisme,
dualisme, nihilisme, pluralisme dan agnostisisme.
3.
Metode dalam ontologi dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu
abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik.
[1] https://rifkaputrika.wordpress.com/2013/03/29/iad/
[2]
http://www.pengertianmenurutparaahli.net/pengertian-logis-dan-contohnya/
[3] http://kuliahfilsafat.blogspot.co.id/2009/04/tujuan-fungsi-dan-manfaat-filsafat.html
[4] https://kbbi.web.id/bijaksana
[5] http://risnadewi12.blogspot.co.id/2013/02/ontologi.html
[6] https://www.tongkronganislami.net/contoh-makalah-ontologi-filsafat-ilmu/
[7] https://kajianbudayablog.wordpress.com/2016/12/03/analisis-filsafat-ilmu-ontologi-epistemologi-aksiologi-dan-logika-ilmu-pengetahuan/
[8] https://zainabzilullah.wordpress.com/2013/01/20/ontologi-epistemologi-dan-aksiologi-sebagai-landasan-penelaahan-ilmu/comment-page-1/
[9] http://blogushuluddin.blogspot.co.id/2016/04/filsafat-ilmu-ontologi.html
[10] http://ayundaleni.blogspot.co.id/2016/12/makalah-filsafat-ilmu-ontologi.html
[11] http://www.contohnaskahdrama.com/2017/08/pengertian-ontologi-menurut-para-ahli.html
[12] http://www.gurupembelajar.co.id/2017/08/pengertian-ontologi-sejarah-aliran.html
[13] http://irwanteasosial.blogspot.co.id/2015/02/aliran-aliran-dalam-ontologi.html
[14] https://nawaaufateknodikunnes.wordpress.com/2012/06/05/aliran-filsafat-materialisme-dalam-aspek-ontologi-epistemologiaksiologi/
[15] Sunarto.
Pemikiran tentang Kefilsafatan Indonesia. Yogyakarta:
Andi Offset. 1983. hlm. 70.
[16] Jujun
S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1996. hlm. 64.
[17] Cecep
Sumarna. Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai.
Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2006. hlm. 48.
[18] Harun
Nasution. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan
Bintang. 1982. hlm. 53.
[19] Amsal
Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 2007. hlm. 142.
[20] http://rangerwhite09-artikel.blogspot.co.id/2010/04/ontologi-dalam-ilmu-filsafat.html
[21] http://nitanurrachmawatiatmasari.blogspot.co.id/2010/11/ontologi-dalam-filsafat-ilmu.html
[22] http://harisreinald3.blogspot.co.id/2013/03/ontologi.html
[23] http://kecoaxus.tripod.com/filsafat/pengfil.htm